Senin, 01 April 2013

Sumpah palsu dan pembuktiannya

Memberikan keterangan Sumpah Palsu di bawah sumpah atau yang biasa disebut delik Sumpah Palsu/Keterangan Palsu, diatur dalam Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), khususnya ayat 1 dan 2, yang berbunyi:
Ayat 1
“Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Ayat 2
“Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
 
Sebagai informasi untuk Anda, Sumpah Palsu/Keterangan Palsu adalah Delik Formil (formeel delict), artinya perumusan unsur-unsur pasalnya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Delik Sumpah Palsu tersebut dianggap telah selesai/terpenuhi dengan dilakukannya perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam rumusan delik tersebut.
 
Menjawab pertanyaan Anda, sesuai dengan Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), apabila keterangan seorang saksi di bawah sumpah dalam suatu persidangan, diduga/disangka sebagai suatu keterangan yang palsu (tidak benar), maka Hakim Ketua secara ex officio (karena jabatannya) memperingatkan saksi tersebut untuk memberikan keterangan yang benar dan juga mengingatkan akan adanya sanksi pidana apabila saksi tersebut tetap memberikan keterangan palsu.
 
Selanjutnya, apabila saksi tersebut tetap mempertahankan keterangan palsunya, maka Hakim Ketua secara ex officio (karena jabatannya), atau atas permintaan jaksa penuntut umum atau terdakwa (maupun Penasihat Hukumnya) dapat memberi perintah agar saksi tersebut ditahan, kemudian panitera pengadilan akan membuat berita acara pemeriksaan sidang yang ditandatangani oleh Hakim Ketua dan panitera, dan selanjutnya menyerahkannya kepada penuntut umum untuk dituntut dengan dakwaan sumpah palsu.
 
Sesuai dengan hasil diskusi penjawab dengan Asep Iwan Iriawan (mantan Hakim), maka dalam praktiknya, hakim mempunyai hak untuk menilai keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti. Secara teknis, saat seorang hakim memiliki keyakinan bahwa saksi tersebut berbohong, maka hakim ketua akan men-skorsing sidang untuk bermusyawarah dengan para hakim anggota. Jika musyawarah tersebut mencapai kesepakatan, maka majelis hakim akan mengeluarkan penetapan.
 
Dengan kata lain, tidak diperlukan adanya suatu laporan pidana terlebih dahulu sebelum majelis hakim mengeluarkan penetapan untuk menahan saksi yang diduga bersumpah palsu tersebut. Tentunya dengan ketentuan bahwa sebelumnya hakim harus memperingatkan saksi tersebut untuk memberikan keterangan yang benar dan mengingatkan adanya saksi pidana, dalam hal saksi tersebut tetap memberikan keterangan yang palsu (tidak benar).
 
Dengan demikian, ketegasan seorang hakim sangat diperlukan dalam menegakkan tujuan hukum acara pidana, yaitu mencari kebenaran materiil, yaitu khususnya dalam hal ini untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya dari keterangan seorang saksi yang diduga memberikan keterangan palsu di bawah sumpah tersebut.
 
Sebaliknya, jika saksi yang diduga memberikan keterangan palsu tersebut merasa bahwa keterangan yang diberikannya adalah benar atau tidak palsu, namun tetap diproses sebagai tersangka atau terdakwa, maka berpadanan pada asas Presumption of Innocence (praduga tak bersalah), soal bersalah atau tidak bersalahnya seorang saksi yang diduga memberikan keterangan palsu di bawah sumpah tersebut adalah bergantung sepenuhnya dari bagaimana proses pembuktian atas perkara tersebut di pengadilan.
 
Sebagai bahan referensi untuk mendukung opini tersebut, penjawab juga akan mengutip pendapat R. Soesilo dalam bukunya: “KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, hal. 183, disebutkan:
 
“Supaya dapat dihukum pembuat (saksi yang diduga memberikan keterangan palsu) harus mengetahui, bahwa ia memberikan suatu keterangan dengan sadar bertentangan dengan kenyataan dan bahwa ia memberikan keterangan palsu ini di atas sumpah. Jika pembuat menyangka bahwa keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, akan tetapi akhirnya keterangan ini tidak benar, dengan lain perkataan, jika ternyata bahwa ia sebenarnya tidak mengenal sesungguhnya mana yang benar, maka ia tidak dapat dihukum. Mendiamkan (menyembunyikan) kebenaran itu belum berarti suatu keterangan palsu. Suatu keterangan palsu itu menyatakan keadaan lain dari pada keadaan yang sebenarnya dengan dikehendaki (dengan sengaja).

Demikian jawaban saya. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda.
 
Dasar hukum:
 
Referensi:
Soesilo, R. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.

Tidak ada komentar: