Senin, 25 Agustus 2014

Pengembangan Yurisprudensi Tetap

PENGEMBANGAN YURISPRUDENSI TETAP

   oleh
                                             Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.
          Sumber hukum yang dikenal selama ini adalah kebiasaan, undang-undang, yurisprudensi, hukum perjanjian internasional dan doktrin.
           Dalam ajaran penemuan hukum undang-undang diprioritaskan dari sumber-sumber hukum lainnya. Undang-undang didahulukan dari sumber hukum lainnya. Kalau hendak mencari arti istilah atau pengertian hukum, maka dicari terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan, kalau ternyata tidak ada, maka barulah dicari dalam yurisprudensi, kalau dalam yurisprudensi tidak terdapat, maka barulah dicari dalam hukum kebiasaan dan begitu seterusnya. Hal ini dapat difahami, karena di samping undang-undang itu bersifat umum yang berarti berlaku bagi setiap orang, bentuknya tertulis, yang lebih menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu dapat difahami pula munculnya aliran legisme dalam penemuan hukum yang menganggap bahwa undang-undang adalah satusatunya sumber hukum. Aliran ini kemudian mengalami perkembangan.
             Di dalam praktek ternyata prosedur atau uruturutan dalam ajaran penemuan hukum tersebut sering tidak diperhatikan. Orang misalnya tidak lari kepada peraturan perundang-undangan terlebih dahuludalam menemukan hukumnya, tetapi langsung mencarinya dalam doktrin, sehingga penemuan hukumnya tidak tepat.
               Jadi undang-undang mempunyai kedudukan yang penting dalam penemuan hukum.
Sebaliknya perlu diketahui, bahwa di samping undang-undang itu umum dan abstrak sifatnya ("Barangsiapa .. . "), sifatnya juga pasif. Pasif berarti menunggu terjadinya suatu peristiwa konkrit untuk dapat dilaksanakan. Undang-undang aktif, baru hidup, baru dapat dilaksanakan apabila terjadi peristiwa konkrit. mencuri dihukum". Ketentuan undang-undang ini baru dapat dilaksanakan apabila seseorang mengambil barang orang lain dengan maksud memilikinya dengan melawan hukum. Baru dengan terjadinya peristiwa konkrit itu undang-undang menjadi aktif, hidup, mempunyai kekuasaan dan dapat dilaksanakan. Jadi undang-undang memerlukan "aktivator" berupa peristiwa konkrit, agar undang-undang itu dapat diterapkan pada peristiwanya, agar dapat dilaksanakan. Tanpa terjadinya suatu peristiwa konkrit pada hakekatnya undang-undang "ist nur ein Plan", sekedar merupakan pedoman yang berisi peringatan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan atau diterapkan terhadap peristiwanya.
Undang-undang itu sendiri, karena sifatnya yang statis tidak dapat setiap saat berkembang, berubah atau diubah sesuai atau mengikuti perkembangan masyarakat, tetapi harus melalui prosedur yang waktu lama.
Karena undang-undang itu statis, maka pelaksanaan dan perkembangannya terjadi melalui peradilan dengan putusan pengadilan atau yurisprudensi. Dengan penemuan hukum maka hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan dilaksanakan dan dikembangkan oleh peradilan dengan yurisprudensi sesuai atau mengikuti perkembangan masyarakat.
             Walaupun sekarang ini banyak produk legislatif dari zaman Hindia Belanda, yang bersifat kolonial itu (tidak semua yang bersifat kolonial itu selalu tidak baik!), masih berlaku, namun pelaksanaan dan pengembangan terjadi melalui peradilan nasional Indonesia. Hal ini tidak berarti bahwa dewasa ini tidak perlu ada perubahan, penggantian, penghapusan atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan, baik peraturan perundang-undangan kolonial maupun nasional. Dewasa ini tidak sedikit peraturan perundang-undangan baik yang berasal dari zaman kolonial maupun yang nasional yang perlu diganti. Hanya kalau sekiranya diinginkan adanya penggantian atau penghapusan peraturan perundang-undangan, terutama yang kolonial, maka harus ada motivasi yang kuat akan urgensi kebutuhan akan adanya penggantian atau penghapusan itu, baik untuk mengatasi masalah yang selama ini timbul dan tidak tertampung oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan (respresif) maupun untuk mencegah atau menangkal kemudian terjadi masalah-masalah baru(preventif). Jadi tidak sekedar ingin karena yang ada bersifat kolonial, sudah tua, tidak sesuai lagi atau karena ingin sesuatu baru. Kecuali itu harus diperhatikan tetap adanya kontinuitas antara peraturan perundang-undangan yang lama dengan yang baru dan penyusunannya harus koordinatif dengan instansi-¬instansi yang terkait serta menyeluruh dan tidak bersifat tambal sulam.
Jadi yurisprudensi (judge-made-law) mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan pengembangan hukum.
        Didalam sistem peradilan kita asasnya ialah bahwa hakim tidak terikat pada putusan hakim yang ada mengenai perkara yang sejenis. Hakim tidak ada keharusan untuk memutus suatu perkara sama dengan putusan hakim yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang sejenis. Jadi pada asasnya hakim bebas untuk memutus setiap perkara menurut keyakinannya tanpa harus berkeblat kepada putusan yang ada mengenai perkara yang sejenis. Di satu pihak hakim memang bebas, hal mana memenuhi salah satu asas peradilan, tetapi di lain pihak timbul pertanyaan apakah asas ini menjamin kepastian hukum. Kalau setiap tahkim memutus menurut keyakinannya masing-masing tanpa mengingat adanya putusan mengenai perkara sejenis yang ada, sehingga memungkinkan dijatuhkannya dua perkara atau lebih yang sejenis yang diputus berbeda, apakah hal ini menunjukan adanya kepastian hukum? Di dalam perkembangannya sekarang ini kita lihat bahwa banyak putusan yang berkeblat kepada putusan pengadilan atasannya (PT, MA). Hal ini bukan berarti bahwa hakim Indonesia sekarang ini terikat pada putusan hakim yang ada mengenai perkara yang sejenis, hal ini tidak berarti bahwa sistem peradilan kita sekarang menganut sistem peradilan Anglo Saks (the binding force of precedent), tetapi karena terikatnya hakim pada putusan yang ada mengenai perkara sejenis itu karena putusan itu meyakinkan hakim yang bersangkutan (the persuasive force of precedent).

Tidak ada komentar: