Senin, 01 April 2013

hukum pidana

LITERATUR POKOK :
•Drs. P.A.F. Lamintang, SH “Dasar-Dasar Hukum Pidana”, Citra Aditya Bakti, Bandung
•Prof. Muljatno, SH “Asas-Asas Hukum Pidana”
•Dr. Andi Hamzah, SH, “Asas-Asas Hukum Pidana”
- Drs. Adam Chazami SH, “Pelajaran Hukum Pidana 1”
•Drs. Adam Chazami, “Pelajaran Hukum Pidana 2”.
• Prof. Dr.Wirjono. P,  SH, “Asas-Asas Hukum Pidana”
•D. Scaffmester, dkk “ Hukum Pidana”
•Prof. Dr. Barda Nawawi, SH “Kapita Silekta Hukum Pidana”
•R. Soenarto Soeridobroto, “ KUHP dan KUHAP beserta Yurisprudensi MA”
•R. Soesilo, “KUHP dan penjelasannya”
BAB I
PENDAHULUAN
A. Istilah dan Pengertian
Pidana berasal kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Dapat dikatakan istilah pidana dalam arti sempit adalah berkaitan dengan hukum pidana
Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit).
Selanjutnya istilah hukum pidana dalam bahasa Belanda adalah Strafrecht sedangkan dalam bahasa Inggris adalah Criminal Law.
Adapun pengertian hukum pidana dibawah menurut pendapat para ahli sebagai berikut :
  1. SIMONS, hukum pidana adalah keseluruhan larangan-larangan dan keharusan yang pelanggaran terhadapnya dikaitkan dengan suatu nestapa (pidana/hukuman) oleh negara, keseluruhan aturan tentang syarat, cara menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut.
  2. MOELJATNO, hukum pidana adalah aturan yang menentukan : a) Perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang, serta ancaman sanksi bagi yang melanggarnya, b) Kapan dan dalam hal apa kepada pelanggar dapat dijatuhi pidana, c) Cara pengenaan pidana kepada pelanggar tesebut dilaksanakan
  3. Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata  “pidana” berarti hal yang “dipidanakan” yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
  4. Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan” yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
  5. WLG. LEMAIRE, hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk UU) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. (pengertian ini nampaknya dalam arti hukum pidana materil).
  6. WFC. HATTUM, hukum pidana (positif) adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peaturan-peraturannya denagan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.
  7. WPJ. POMPE, hukum pidana adalah hukum pidana itu sama halnya dengan hukum tata negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dari hukum, biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang abstrahir dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret.
  8. KANSIL, hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
  9. ADAMI CHAZAWI, dilihat dari garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atau sumber pokok hukum pidana, hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang :
  • Aturan-aturan hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan denagan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif) maupun pasif/negatif) tertentu yang diserti dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu.
  • Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkanya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.
  • Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim), terhadap yang disangka dan di dakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.
Berpijak dalam garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atau sumber pokok hukum pidan, hukum pidana merupakan bagi dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang :
  1. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/posiitif) maupun pasf/negatif) tertentu yang disertai denagan ancaman sanksi pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu.
  2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.
  3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut
B. Tujuan Hukum Pidana
Ada dua macam :
  1. Untuk menakut-nakuti setiap orang agar mereka tidak melakukan perbuatan pidana (fungsi preventif)
  2. Untuk mendidik orang yang telah melakukan perbuatan yang tergolong perbuatan pidana agar mereka menjadi orang yang baik dan dapat diterima kembali dalam masyarakat (fungsi represif).
Jadi dapat disimpulkan tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat.
Menurut para ahli tujuan hukum pidana adalah :
  1. Memenuhi rasa keadilan (WIRJONO PRODJODIKORO)
  2. Melindungi masyarakat (social defence) (TIRTA AMIDJAJA)
  3. Melindungi kepentingan individu (HAM) dan kepentingan masyarakat dengan negara ( (KANTER DAN SIANTURI)
  4. Menyelesaikan konflik (BARDA .N)
Tujuan Pidana (Menurut literatur Inggris R3D) :
  1. Reformation, yaitu memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Namun ini tidak menjamin karena masih banyak juga residivis.
  2. Restraint, yaitu mengasingkan pelanggar dari masyarakat sehingga timbul rasa aman masyarakat
  3. Retribution, yaitu pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan
  4. Deterrence, yaitu menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensi menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukankejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
C. Fungsi Hukum Pidana
Sebagai hukum publik hukum pidana memiliki fungsi sebagai   berikut :
  1. Fungsi melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang atau memperkosanya.
Kepentingan hukum (rechtsbelang) adalah segala kepentingan yang diperlukan dalam berbagai segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, anggot masyarakat, maupun anggota suatu negara, yang wajib dijaga dan dipertahankan agar tidak dilanggar/diperkosa oleh perbuatan-perbuatan manusia. Semua ini ditujukan untuk terlaksana dan terjaminnya ketertiban di dalam segala bidang kehidupan.
Di dalam doktrin hukum pidana Jerman, kepentingan hukum (rechtsgut) itu meliputi (Satochid Kartanegara) :
  1. Hak-hak (rechten)
  2. Hubungan hukum (rechtsbetrekking)
  3. Keadaan hukum (rechtstoestand)
  4. Bangunan masyarakat (sociale instellingen)
Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam yaitu :
  1. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen) misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila, dsb.
  2. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschapppelijke belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu lintas di jalan raya, dsb.
  3. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan wakilnya, dsb.
Ketiga kepentingan hukum diatas saling berkait dan tidak bisa dipisahkan. Contoh kepetingan hukum yang diatur dalam hukum pidana materil (KUHP) larangan mencuri (pasal 362), larangan menghilangkan nyawa (pasal 338). Pasal 363 melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum orang atas hak milik kebendaan pribadi dan pasal 338 adalah melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum terhadap hak individu/nyawa orang. Untuk melindung kepentingan hukum diatas adalah melalui sanksi pidana/straf (hukuman penjara). Misalnya pasal 362 KUHP dapat diancam hukuman penjara maksimum 5  tahun dan pasal 338 dapat diancam hukuman penjara maksimum 15 tahun, dsb.
  1. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi.
Fungsi hukum pidana yang dimaksud disini adalah adalah tiada lain memberi dasar legitimasi bagi negara agar negara dapat menjalankan fungsi menegakkan dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana tadi dengan sebaik-baiknya. Fungsi ini terutama terdapat dalam hukum acara pidana, yang telah dikodifikasikan dengan apa yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni UU No. 8 tahun 1981. Dalam hukum acara pidana telah diatur sedemikian rupa tentang apa yang dapat dilakukan negara dan bagaimana cara negara mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana. Misalnya bagaimana cara negara melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap terjadinya tindak pidana seperti melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan, pemeriksaan, vonis, dll. Semua tindakan negara diatas tentu berakibat tidak menyenangkan bagi siapa saja. Namun atas dasar kepentingan hukum dan negara tindakan negara tersebut dibenarkan, melalui prosedur KUHAP diatas.
  1. Fungsi mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi.
Sebagaimana diketahui bahwa fungsi hukum pidana yang kedua diatas adalah hukum pidana telah memberikan hak dan kekuasaan yang sangat besar pada negara agar dapat menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi dengan sebaik-baiknya. Namun demikian atas kekuasaan negara diatas harus dibatasi. Walaupun pada dasarnya adanya hukum pidana untuk melindungi kepentingan hukum yang dlindungi. Namun tentunya pembatasan kekuasaan itu penting agar negara tidak melakukan sewenang-wenang kepada masyarakat dan pribadi manusia. Pengaturan hak dan kewajiban negara dengan sebaik-baiknya dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi yang secara umum dapat disebut mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban hukum masyarakat itu, menjadi wajib. Adanya KUHP dan KUHAP sebagai hukum pidana materi dan formil dalam rangka mempertahankan kepentingan hukum masyarakat yang dilindungi pada sisi sebagai alat untuk melakukan tindakan hukum oleh negara apabila terjadi pelanggaran hukum pidana, pada sisi lain sebagai alat pembatasan negara dalam setiap melakukan tindakan hukum. Misalnya jika seseorang membunuh (pasal 338 KUHP) negara tidak boleh menghukum melebihi ancaman maksimum 15 tahun. Begitu juga ketika negara menahan seseorang ada batas masa penahanan misalnya penyidik hanya selama 20 hari. Jika ketentuan diatas dilanggar oleh negara maka akan terjadi kesewenangan. Dengan demikian masyarakat sendiri dirugikan. Jika akibat suatu tindakan negara justru merugikan masyarakat, maka tujuan dan fungsi hukum pidana tersebut tidak tercapai. Tujuan hukum untuk kebenaran dan keadilan hanya semboyan saja.
D. Sumber Hukum Pidana
  1. Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dan penjelasan = MVT yang terdiri dari buku I tentang aturan umum, buku II tentang kejahatan dan buku III tentang pelanggaran
  2. Undang-undang di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana
  • Undang-undang Tindak Pidana Korupsi
  • Undang-undang Tindak Pidana Terorisme (UU No. 15 tahun 2003)
  • Undang-undang Pidana Pencucian Uang (UU No. 15 tahun 2002)
  • Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (UU DRT No. 7 tahun 1955 dan UU No. 8 tahun 1958, PP No. 1 tahun 1960)
  • Undang-undang Narkotika dan Undang-undang Psikotropika ( UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan  UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
3.   Hukum Adat (Pasal 5 ayat 3 (b) UU Darurat No. 1 tahun 1951 yaitu berbunyi :
“Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orangorang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian :
  • bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum,
  • bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan
  • bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu”.
E. Aliran-aliran dalam Hukum Pidana
Salah satu masalah pokok hukum pidana adalah mengenai konsep tujuan pemidanaan dan untuk mengetahui secara komprehensif mengenai tujuan pemidanaan ini harus dikaitkan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana. Aliran-aliran tersebut adalah aliran klasik, aliran modern (aliran positif) dan aliran neo klasik (sosiologis). Perbedaaan aliran klasik, modern dan neo klasik atas karakteristik masing-masing erat sekali hubungannya dengan keadaan pada zaman pertumbuhan aliran-aliran tersebut.
  1. Aliran klasik
Aliran yang muncul pada abad ke-18 merupakan respon dari ancietn regime di Perancis dan Inggris yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum dan ketidakadilan. Aliran ini berfaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak (free will) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strefrecht). Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut single track system berupa sanksi tunggal, yaitu sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana karena tema aliran klasik ini, sebagaimana dinyatakan oleh Beccarian adalah doktrin pidana harus sesuai dengan kejahatan. Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran. Hakim hanya merupakan alat undang-undang yang hanya menentukan salah atau tidaknya seseorang dan kemudian menentukan pidana. Undang-undang menjadi kaku dan terstruktur. Aliran klasik ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
  1. Definisi hukum dari kejahatan
  2. Pidana harus sesuai dengan kejahatannya
  3. Doktrin kebebasan berkehendak
  4. Pidana mati untuk beberapa tindak pidana
  5. Tidak ada riset empiris; dan
  6. Pidana yang ditentukan secara pasti.
Tokoh dalam aliran klasik ini adalah Cesare Beccaria dan Jeremi Bentham. Beccaria meyakini konsep kontrak sosial dimana individu menyerahkan kebebasan atau kemerdekaannya secukupnya kepada negara dan oleh karenanya hukum harusnya hanya ada untuk melindungi dan mempertahankan keseluruhan kemerdekaan yang dikorbankan terhadap persamaan kemerdekaan yang dilakukan oleh orang lain. Prinsip dasar yang digunakan sebagai pedoman adalah kebahagiaan yang terbesar untuk orang sebanyak-banyaknya. Sementara Jeremy Bentham melihat suatu prinsip baru yaitu utilitarian yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dinilai dengan sistem yang irrasional yang absolut, tetapi melalui prinsip-prinsip yang dapat diukur. Bentham menyatakan bahwa hukum pidana jangan dijadikan sarana pembalasan tetapi untuk mencegah kejahatan.
  1. Aliran Modern atau aliran positif
Aliran ini muncul pada abad ke-19 yang bertitik tolak pada aliran determinisme yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of free will). Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Marc Ancel, salah satu tokoh aliran modern menyatakan bahwa kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang tidak mudah begitu saja dimasukkan ke dalam perumusan undang-undang.
Ciri-ciri aliran modern adalah sebagai berikut :
  1. Menolak definisi hukum dari kejahatan
  2. Pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana
  3. Doktrin determinisme
  4. Penghapusan pidana mati
  5. Riset empiris; dan
  6. Pidana yang tidak ditentukan secara pasti.
Marc Ancel mempelopori gerakan perlindungan masyarakat baru (new social defence) yang bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. Tokoh-tokoh lain yang merupakan pelopor aliran modern adalah Cesare Lambroso, Enrico Ferri dan Raffaele Garofalo. Lambroso menganjurkan bahwa pidana tidak ditetapkan secara pasti oleh pengadilan (the indeterminate sentence), pidana mati merupakan seleksi terakhir yang bilamana penjara pembuangan dan kerja keras, penjahat tetap mengulangi kejahatan yang mengancam masyarakat dan korban kejahatan harus diberi kompensasi atas kerugian yang diakibatkan oleh penjahat dan ia memberi tekanan yang besar pada pencegahan kejahatan. Gorofalo mengusulkan konsep kejahatan natural (natural crime) yang merupakan pengertian paling jelas untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat beradab diakui sebagai kejahatan dan ditekan melalui sarana berupa pidana. Ferri menyatakan bahwa seseorang memiliki kecenderungan bawaan menuju kejahatan tetapi bilamana ia mempunyai lingkungan yang baik maka ia akan hidup terus tanpa melanggar pidana ataupun hukum moral, kejahatan terutama dihasilkan oleh tipe masyarakat darimana kejahatan itu datang, oleh karena itu pembuat undang-undang harus selalu memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, moral, administrasi dan politik di dalam tugasnya sehari-hari, dan kejahatan hanya dapat diatasi dengan mengadakan perubahan-perubahan di masyarakat.
  1. Aliran neo klasik (sosiologis)
Aliran ini muncul pada abad ke-19 mempunyai basis yang sama dengan aliran klasik, yakni kepercayaan pada kebebasan berkehendak manusia. Aliran ini beranggapan bahwa pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo klasik ini didasarkan pada beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle of extenuating circumtances). Perbaikan selanjutnya adalah banyak kebijakan peradilan yang berdasarkan keadaaan-keadaan obyektif. Aliran ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana.
Karakteristik aliran neo klasik adalah sebagai berikut :
  1. Modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak, yang dapat dipengaruhi oleh patologi, ketidakmampuan, penyakit jiwa dan keadaan-keadaan lain;
  2. Diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan;
  3. Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban untuk mengadakan peringatan pemidanaan, dengan kemungkinan adanya pertanggungjawaban sebagian di dalam kasus-kasus tertentu, seperti penyakit jiwa usia dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan kehendak seseorang pada saat terjadinya kejahatan; dan;
  4. Masuknya kesaksian ahli di dalam acara peradilan guna menentukan derajat pertanggungjawaban.
Determinisme dan Indeterminisme
  • Dualisme istilah ini berkisar pada pesoalan, apakah seorang manusia pada hakikatnya adalah bebas dari pengaruh (indeterminisme) atau justru selalu terpengaruh oleh kekuatan dari luar (determinisme)
  • Kata “determiner” dalam bahasa Prancis bahkan berarti “menentukan”
  • Determinisme adalah bahwa kekuatan menentukan dari luar itu adalah termasuk tabiat atau watak dari seorang dan alasan yg mendorong orang itu untuk pada akhirnya mempunyai kehendak tertentu itu, dan kekuatan2 ini didorong pula oleh keadaan dalam masyarakat tempat orang itu hidup. Jadi kehendak melakukan perbuatan pidana menurut determinisme dikarenakan kehendak itu selalu ditentukan oleh kekuatan itu.
  • Sedangkan indeterminisme seseorang melakukan suatu kejahatan, menurut faham indeterminisme dianggap mempunyai kehendak untuk itu, mungkin tanpa dipengaruhi kekuatan2 luar tersebut diatas.
E. Sejarah Hukum Pidana Indonesia
De Nederlander, die over zeen en oceanen baan koos naar de koloniale gebieden, nam zijn eigenrecht mee (orang-orang Belanda yang berada diseberang lautan dan samudera luas memiliki jalan untuk menetap di tanah-tanah jajahannya membawa hukumannya sendiri untuk berlaku baginya).
Demikian kalimat pertama yang dikatakan oleh Prof. Mr. J.E Jonkers dalam buku karangannya Het Nederlandch-Indiche Strafstelsel yang diterbitkan pada tahun 1940
Maka, pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia sejak semula terdapat dualisme dalam perundang-undangan. Ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang Belanda dan orang-orang Eropa lainnya yang merupakan jiplakan apa adanya dari hukum yang berlaku di Belanda dan ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing (Cina, Arab, dan India/Pakiskan).
Dualisme ini mula-mula juga ada dalam hukum pidana. Untuk orang-orang Eropa, berlaku suatu kitab undang-undang hukum pidana tersendiri, trmuat dalam Firman raja Belanda tanggal 10 Februari 1866 No. 54 (staatblad 1866 No. 55) yang mulai berlaku pada tanggal 1 januari 1867. Sedangkan untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing berlaku suatu kitab undang-undang hukum pidana tersendiri termuat dalam Ordonantie tanggal 6 Mei 1872 (staatblad 1872 No. 85 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1873.
Seperti pada waktu itu di Belanda, kedua kitab undnag-undang hukum pidana di Indonesia ini adalah jiplakan dari Code Penal dari Prancis yang oleh Kaisar Napoleon dinyatakan berlaku di Belanda ketika negara itu ditaklukan oleh napoleon pada permulaan abad 19.
Pada tahun 1881 di Belanda dibentuk dan mulai berlaku pad atahun 1886 suatu kitab undang-undang hukum pidana baru yang bersifat nasional dan yang sebagian besar mencontoh kitab undang-undang hukum pidana di Jerman.
Sikap semacam ini bagi Indonesia baru diturut denagan dibentuknya kitab undang-undang hukum pidana baru (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie) dengan Firman raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915, mulai berlaku 1 Januari 1918, yang sekaligus menggantikan kedua kitab undang-undang hukum pidana tersebut yang diberlakukan bagi semua penduduk di Indonesia.
Dengan demikian, diakhiri dualisme dari hukum pidana di Indonesia, mula-mula hanya untuk daerah-daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, kemudian untuk seleuruh Indonesia.
KUHP ini ketika mulai berlakunya disertai oleh “invoeringsverordening” berupa Firman raja Belanda tanggal 4 Mei 1917 (Staatblad 1917 No. 497) yang mengatur secara terinci peralihan dari hukum pidana lama kepada hukum pidana baru.
Tidak kurang dari 277 undang-undang yang memuat peraturan hukum pidana di laur kedua kitab undnag-undang hukum pidana, ditetapkan satu peratu, sampai dimana peraturan-peraturan itu dipertahankan, dihapuskan atau diubah.
Keadaan hukum pidana ini dilanjutkan pada zaman pendudukan Jepang dan pada permulaan kemerdekaan Indonesia, berdasar dari aturan-aturan peralihan, baik dari pemerintah Jepang maupun dari Undang-undang Dasar RI 1945 pasal II dari aturan peralihan yang bebrunyi :
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undnag-Undang Dasar ini”.
Dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946, termuat dalam Berita Republik Indonesia II Nomor 9 diadakan penegasan tentang hukum pidana yang berlaku di Republik Indonesia., disebutkan :
“Dengan menyimpang seperlunya dari peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2.
Peraturan tersebut mengandung dua pasal berikut :
  • Pasal 1 : Segala badang negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, slama belum diadakan yang baru menurut UUD, masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan UU tersebut.
  • Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945.
Isi peraturan ini hampir sama dengan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tersbeut diatas. Perbedaannya adalah bahwa kini disebutkan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tanggal pembatasan dan bahwa ditentukan peraturan-peraturan yang dulu itu dianggap tidak berlakuapabila bertentangan dengan UUD.
Ketentuan yang terakhir ini sering dilupakan oleh mereka yang cenderung menganggap semua peraturan dari zaman penjajahan Belanda yang tidak secara tegas dicabut atau diganti tetap berlaku tanpa kekecualiaan. Padahal diantara peraturan-peraturan itu ada beberapa yang jelas hanya layak dalam hubungan-hubungan “kolonial”.
Penyimpangan dari Peraturan Presiden 10 Oktober Nomor 2 oleh UU No. 1 tahun 1946 adalah apa yang ditentukan dalam pasal I bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekrang (26 Februari 1946) berlaku adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942, saat pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Balatentara Jepang yang berganti berkuasa di Indonesia sampai dengan tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan demikian, ditegaskan pertama-tama bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang dianggap tidak berlaku lagi
Ini memang merupakan penyimpangan dari Peraturan Presiden No. 10 Oktober 1945 Nomr 2 yang menurut peraturan tersebut, semua peraturan yang ada pada tangal 17 Agustus 1945 tetap berlaku selama belum diganti dengan yang baru. Sedangkan setahu saya, pada tanggal 26 Februari 1946 belum ada undang-undang Republik Indonesia yang memuat peraturan hukum pidana.
Pasal II Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 mencabut semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh Panglima tertinggi balatentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het Militair Gezag).
Beberapa waktu sebelum 8 maret 1942 wilayah Hindia Belanda dinyatakan dalam keadaan perang (staat van oorlog en beleg alias SOB) dan penguasa militer Hindia-Belanda secara sah mengeluarkan agak banyak peraturan hukum pidana oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 semuanya dicabut. Jadi, yang tertinggal adalah peraturan-peraturan hukum pidana sebelum 8 Maret 1942 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Sipil Hindia-Belanda.
Selanjutnya oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 ditentukan sebagai berikut :
  • Pasal III : Jikalau dalam sesuatu peraturan hukum pidana ditulis perkataan “Nederlandsch-Indie” atau “Nederlandch-Indich (e) (en)”2, maka perkataan-perkataan itu harus dibaca “Indonesie” atau Indonesisch (e) (en)” 2.
  • Pasal IV : Jikalau dalam ssuatu peraturan hukum pidana suatu hak, kewajiban kekuasaan atau perlindungan diberikan atas suatu larangan ditujukan kepada suatu pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang sekarang tidak ada lagi maka hak, kewajiban, kekuasaan atau perlindungan itu harus dianggap diberikan dan larangan tersebut ditujukan kepada pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang harus dianggap menggantinya.
  • Pasal V : Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau betentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku.
  • Pasal VI :
(1)        Nama undang-undang hukum pidana “Wetboek van Strafrecht voor Nederlandch-Indie” diubah menjadi “Wetboek van Strarecht”.
(2)        Undang-undang tersebut dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”
  • Pasal VII : Dengan tidak mengurangi apa yang ditetapkan dalam Pasal III, maka semua perkataan “Nederlandch onderdaan” dalam Kitab Undnag-undang Hukum Pidana diganti dengan “warga negara Indonesia”.
  • Pasal VIII : Beberapa paal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana diubah atau dicabut.
  • Pasal-pasal IX s.d XVI memuat beberapa tindak pidana baru yaitu pasal IX s/d XIII mengenai alat pembayaran yangs ah berupa mata uang atau uang kertas, pasal XIV mengenai penyiaran kabar bohong yang denagan itu sengaja diterbitkan keonaran di kalangan rakyat, pasal XV mengenai penyiaran kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, pasal XVI mengenai penghinaan terhadap bendera kebangsaan Indonesia.
Pada akhirnya ditetapkan bahwa undnag-undang ini mulai berlaku untuk pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya (26 Februari 1946) dan untuk daerah lain pada hari yang akan diteapkan oleh presiden.
Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1946 tanggal 8 Agustus 1946 (Berita Republik Indonesia II 20-21 halaman 234) undang-undang ini untuk Sumatera ditetapkan berlaku mulai tanggal 8 Agustus 1946.
Pada waktu itu, Pemerintah Hindia-Belanda yang menamakan dirinya pemeritah federal, sudah ada di Jakarta dan menguasai beberapa daerah baik di jawa, Madura dan Sumatera maupun diluar daerah-daerah itu dan mengeluarkan beberpa undang-undang yang mengubah beberapa pasal dari KUHP yang tentunya hanya berlaku bagi daerah-daerah yang didudukinya sehingga ada dua KUHP.
Keadaan ini tetap berlangsung juga setelah pada 27 Desember 1949 kedaulatan Republik Indonesia Serikat diakui oleh pemerintah Belanda. Baru pada tanggal 29 September 1958 melalui Undang-undang No. 73 tahun 1958 yang berjudul “undang-undang tentang menyatakan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 Republik Indonesia tenatang peraturan hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Dengan demikian pada saat itu jelas berlaku satu hukum pidana untuk seluruh wilayah RI dengan Kitan Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP sebagai intinya.
F. Pembagian Hukum Pidana
  1. Hukum pidana dalam arti objektif dan dalam arti subjektif
Hukum pidana objektif (ius poenale) adalah hukum pidana yang dilihat dari aspek larangan-larangan berbuat, yaitu larangan yang disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi hukum pidna objektif memili arti yang sama dengan hukum pidana materiil. Sebagaimana dirumuskan oleh Hazewinkel Suringa, ius poenali adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandunbg larangan dan perintah dan keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana bagi si pelanggarnya. Sementara hukum pidana subjektif (ius poeniendi) sebagai aspek subjektifnya hukum pidana, merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau kewenangan negara :
  1. Untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum.
  2. Untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya denagan menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan tersebut, serta
  3. Untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum pidana tadi.
Jadi dari segi subjektif negara memiliki dan memegang tiga kekuasaan/hak fundamental yakni :
  1. Hak untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan menentukan bentuk serta berat ringannya ancaman pidana (sanksi pidana) bagi pelanggarnya.
  2. Hak untuk menjalankan hukum pidana dengan menuntut dan menjatuhkan pidana pada si pelanggar aturan hukum pidana yang telah dibentuk tadi, dan
  3. Hak untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan pada pembuatnya/petindaknya.
Walaupun negara mempunyai kewenangan/kekuasaan diatas namun tetap dibatasi jika tidak maka negara akan melakukan kesewenangan-wenangan sehingga menimbulkan ketidakadilan, ketidaktentraman dan ketidaktenangan warga diantara negara. Pembatasan tersebut melalui koridor-koridor hukum yang ditetap dalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Misalnya dalam hukum pidana materil pasal 362 KUHP tentang larangan perbuatan mengambil benda milik orang lain dengan maksud memiliki benda itu secara melawan hukum (disebut pencurian) yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda maksimum Rp. 900.000. Terhadap si pelanggar larangan ini, hak negara dibatasi tidak boleh menjatuhkan pidana :
  1. Selain pidana penjara dan denda
  2. Jika penjara tidak boleh melebihi 5 tahun, dan jika denda tidak diperkenankan diatas Rp. 900.000.
Juga dibatasi oleh hukum formil artinya tindakan-tindakan nyata negara sebelum,  pada saat dan setelah menjatuhkan pidana serta menjalankannya itu diatur dan ditentukan secara rinci dan cermat, yang pada garis besarnya berupa tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dengan pembuktian dan pemutusan (vonis) dan barulah vonis dijalankan (eksekusi). Perlakuan-perlakuan negara terhadap pesakitan/pelaku pelanggaran harus menurut aturan yang sudah ditetapkan dalam hukum pidan formil.
2. Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil
Tentang hukum pidana materil dan hukum pidana formil akan dijelaskan menurut pendapat ahli dibawah ini :
  1. van HAMEL memberikan perbedaan antara hukum pidana materil dengan hukum pidana formil. Hukum pidana materil itu menunjukkan asas-asas dan peraturan-peraturan yang mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman. Sedangkan hukum pidana formil menunjukkan bentuk-bentuk dan jangka-jangka waktu yang mengikat pemberlakuan hukum pidana materil.
  2. van HATTUM, hukum pidana materil adalah semua ketentuan dan peraturan yang menujukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut (hukum pidana materil kadang disebut juga hukum pidana abstrak). Sedangkan hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara nyata. Biasanya orang menyebut hukum pidana formil adalah hukum acara pidana.
  3. SIMONS, hukum pidana materil itu memuat ketentuan-ketentuan dan rumusan-rumusan dari tindak pidana, peraturan-peraturan mengenai syarat tentang bilamana seseorang itu menjadi dapat dihukum, penunjukkan dari orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan-ketentuan mengenai hukuman-hukumannya sendiri; jadi ia menentukan tentang bilamana seseorang itu dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum dan bilamana hukuman tersebut dapat dijatuhkan.
3. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga negara (subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu. Setiap warga negara harus tunduk dan patuh terhadap hukum pidana umum.
Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subjek hukum tertentu saja. Misalnya hukum pidana yang dimuat dalam BAB XXVIII buku II KUHP tentang kejahatan jabatan yang hanya diperuntukkan dan berlaku bagi orang-orang warga. penduduk negara yang berkualitas sebagai pegawai negeri saja atau hukum pidana yang termuat dalam Kitab UU Hukum Pidana Tentara (KUHPT) yang hanya berlaku bagi subjek hukum anggota TNI saja.
Jika ditinjau dari dasar wilayah berlakunya hukum, maka dapat dibedakan antara hukum pidana umum dan hukum pidana lokal. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh pemerintahan negara pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Contohnya adalah hukum pidana yang dimuat dalam KUHP, berlaku untuk seluruh wilayah hukum negara RI (asas toritorialitet, pasal 2 KUHP). Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahah daerah tersebut. Hukum pidana lokal dapat dijumpai did alam PERDA, baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun pemerintahan kota.
Menurut PAF. LAMINTANG, penjatuhan-penjatuhan hukum seperti tlah diancamkan terhadap setiap pelanggar dan peraturan-peraturan daerah itu secara mutlak harus dilakukan oleh pengadilan. Dengan demikian, maka masalah terbukti atau tidaknya sseorang yang telah dituduh melakukan suatu pelanggaran terhadap peraturan daerah, pengadilanlah satu-satunya lembaga yang berwenang untuk memutuskannya. Dengan pula mengenai hukuman yang bagaimana yang akan dijatuhkan kepada si pelanggar dan mengenai akibat-akibat hukum lainnya seperti dirampasnya barang-barang bukti untuk keuntungan negara, dikembalikannya barang-barang bukti kepaa terhukum dan lain-lainnya, hanya pengadilanlah yang berwenang untuk memutuskannya. Tidak seorangpun termasuk pemerintah-pemerintah daerah dan alat-alat kekuasaannya boleh menahan, memeriksa orang yang dituduh telah melakukan suatu pelanggaran terhadap barang-barangnya tanpa mengajukan mereka ke pengadilan untuk diadili. Dalam melakukan penahanan, pemeriksaan, dan penyitaan-penyitaan, pemerintah-pemerintah daerah berikut aalat kekuasaannya, terikat pada ketentuan-ketentuan seperti yang telah diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana. Setiap tindakan yang diambil oleh alat-alat negara dengan maksud menghukum seseorang yang telah dituduh melakukan suatu pelanggaran terhadap peraturan-peraturan daerah atau terhadap ketentuan-ketentuan pidana menurut UU tanpa bantuan dari pengadilan, pada hakikatnya merupakan suatu perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) yang dilarang oleh hukum. Sebagaimana diungkapkan oleh HAZEWINKEL SURINGA : “di dalam hukum pidana baik negara maupun badan yang bersifat hukum publik yang lebih rendah lainya, tidak berwenang main ahakim sendiri”. Maka dapat dikatakan telah terjadi perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan jika dilakukan oleh penguasa disebut onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melanggar hukum oleh penguasa).
4. Hukum Pidana Tertulis dan Hukum Pidana Tidak Tertulis
Hukum pidana tertulis adalah hukum pidana undang-undang, yang bersumber dari hukum yang terkodifikasi yaitu Kitab Undang-udang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan bersumber dari hukum yang diluar kodifikasi yang tersebar dipelbagai peraturan perundang-undangan.
Hukum pidana yang berlaku dan dijalankan oleh negara adalah hukum tertulis saja, karena dalam hal berlakunya hukum pidana tunduk pada asas legalitas sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 (1) KUHP berbunyi “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”.
Sementara itu hukum pidana tidak tertulis tidak dapat dijalankan. Namun demikian ada satu daar hukum yang dapat memberi kemungkinan untuk memberlakukan hukum pidana adat (tidak tertulis) dalam arti yang sangat terbatas berdasarkan Pasal 5 (3b) UU No. 1/Drt/1951.
5. Hukum Pidana Yang DiKodifikasikan dan Tidak Dikodifikasikan
Hukum pidana yang dikodifikasikan (codificatie, belanda) adalah hukum pidana tersebut telah disusun secara sistematis dan lengkap dalam kitab undang-undang, misalnya Kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Sedangkan yang termasuk dalam hukum pidana tidak terkodifikasi adalah peraturan-peraturan pidana yang terdapat di dalam undang-undang atau peraturan-peraturan yang bersifat khusus (van HATTUM)
G. PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG PIDANA
1.  Pentingnya Penafsiran undnag-undang Pidana
Dalam hal berlakunya hukum pidana tidak dapat dihindari adanya penafsiran (interpretatie) karena ha-hal sebagai berikut :
  1. Hukum tertulis tidak dapat dengan segera mengikuti arus perkembangan masyarakat. Dengan berkembangnya masyarakat berarti berubahnya hal-hal yang dianutnya, dan nilai-nilai ini dapat mengukur segala sesuatu, misalnya tentang rasa keadilan masyarakat. Hukum tertulis bersifat kaku, tidak dengan mudah mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarkat. Oleh karena itu, hukum selalu ketinggalan. Untuk mengkuti perkembangan itu acap kali praktik hukum menggunakan suatu penafsiran.
  2. Ketika hukum tertulis dibentuk, terdapat ssuatu hal yang tidak diatur karena tidak menjadi perhatian pembentuk undang-undang. Namun setelah undang-undang dibentuk dan dijalanka, barulah muncul persoalan mengenai hal-hal yang tidak diatur tadi. Untuk memenuhi kebutuhan hukum dan mengisi kekosongan norma semacam ini, dalam keadaan yang mendeak dapat menggunakan suatu penafsiran.
  3. Keterangan yang menjelaskan arti beberapa istilah atau kata dalam undnag-undang itu sendiri (Bab IX Buku I KUHP) tidak mungkin memuat seluruh istilah atau kata-kata penting dalam pasal-pasal perundang-undangan pidana, mengingat begitu banyaknya rumusan ketentuan hukum pidana. Pembentuk undang-undnag memberikan penjelasan hanyalah pada istilah atau unsur yang benar-benar ketika undnag-undang dibentuk dianggap sangat penting, ssuai dengan maksud dari dibentuknya norma tertentu yang dirumuskan. Dalam banyak hal, pembentuk undnag-undang menyerahkan pada perkembangan praktik melalui penafsiran-penafsiran hakim. Oleha karena itu, salahy satu pekerjaan hakim dalam menerapkan hukum ialah melakukan penafsiran hukum.
  4. Acap kali suatu norma dirumuskan secara singkat dan besifat sangat umum sehingga menjadi kurang jelas maksud dan artinya. Oleh karena itu, dalam menerapkan norma tadi akan menemukan kesulitan. Untuk mengatasi kesulitan itu dilakuakn jalan menafsirkan. Dalam hal ini hakim bertugas untuk menemukan pikiran-pikiran apa yang sebenarnya yang terkandung dalam norma tertulis. Contohnya dalam rumusan Pasal 1 (2) KUHP perihal unsur ”aturan yang paling menguntungkan terdakwa” mengandung ketidakjelasan arti dan maksud dari ”aturan yang paling menguntungkan. Hal tersebut dapat menimbulkan bermacam pendapat hukum dari kalangan ahli hukum. Timbulnya beragam pendapat seperti ini karena adanya penafsiran.
Bedasarkan hal diatas sangatlah jelas bahwa perkembangan masyarakat dimana kebutuhan hukum dan rasa keadilan juga berubah sesuai denagan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, maka untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang dan dianut masyarakat tersbeut, dalam praktik penerapan hukum diperlukan penafsiran.
Untuk (KUHP) tidak memberikan petunjuk tentang bagaimana cara hakim untuk melakukan penafsiran. Cara-cara penafsiran ada dalam doktrin hukum pidana. Untuk melakukan penafsiran, cara yang akan digunakan diserahkan pada praktik hukum. Hanya saja terhadap suatu cara penafsiran telah terjadi perbedaan pendapat yaitu terhadap penggunaan penafsiran analogi, dimana ada sebagian pakar hukum yang keberatan berkaiatan dengan masalah asas legalitas tentang berlakunya hukum pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
2. Macam-Macam Penafsiran Dalam Hukum Pidana
a. Penafsiran Autentik
Penafsiran autentik (resmi) Penafsiran sahih (autentik, resmi) ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk UU, atau penafsiran ini sudah ada dalam penjelasan pasal demi pasal,  misalnya Pasal 98 KUHP : arti waktu ”malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; Pasal 101 KUHP: “ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi (periksa KUHP Buku I Titel IX).
Contoh lainnya dalam penjelasan atas pasal 12 B ayat (1) UU No 20 tahun 2001, menjelaskan yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasiltas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma dan fasiltas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau sarana tanpa elektronik.
Dikatakan penafsiran otentik karena tertulis secara esmi dalam undnag-undang artinya berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari sudut pelaksana hukum yakni hakim. Dalam penafsiran bermakna hakim kebebasannya dibatasi. Hakim tidak boleh memberikan arti diluar dari pengertian autentik. Sedangkan diluar KUHP penafsiran resmi dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan umum dan penejelasan pasal demi pasal.
b.  Penafsiran tata bahasa (gramaticale interpretatie), disebut juga penafisran menurut atau atas dasar bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Bekerjanya penafsiran ini ialah dalam hal untuk mencari pengertian yang sebenarnya dari suatu rumusan norma/unsurnya, dengan cara mencari pengertian yang sebenarnya menurut bahasa sehar-hari yang digunakan masyarakat yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat dikemukakan hal yang berikut : Suatu peraturan perundangan melarang orang memparkir kenderaannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan istilah “kendaraan” itu.
Orang lalu bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan “kenderaan” itu, hanyalah kenderaan bermotorkah ataukah termasuk juga sepeda dan bendi.
Contoh lain kata “dipercayakan” sebagaimana dirumuskan dalam dalam pasal 432 KUHP secara gramatikal diartikan dengan “diserahkan”, kata “meninggalkan” dalam pasal 305 KUHP diartikan secara gramatikal dengan “menelantarkan”.
Contoh lain adalah kasus melalui putusan Pengadilan Tinggi Meda tanggal 8-8-1983 No. 144/Pid/PT Mdn telah memberikan arti bonda (bahasa Batak) dari unsur benda (goed) dalam penipuan adalah juga temasuk ”alat kelamin wanita”. Perhatikanlah petimbangan Pengadilan Tinggi Medan mengenai hal ini sebagai berikut , ”bahwa walaupun belebihan, khusus dan teutama dalam perkara ini tentang istilah barang, dalam bahasa daeah tedakwa dan saksi (Tapanuli) dikenal istilah ”bonda” yang tidak lain daripada barang, yang diatikan kemaluan sehingga bilsa saksi K.br.S menyeahkan kehormatannya kepada terdakwa samalah dengan menyeahkan benda/barang.
Tentu pendapat Pengadilan Tinggi Medan ini masihd apat diperdebatkan. Pertimbangan Pengadilan tinggi Medan seperti disini bukan ditujukan pada tepat atau tidak tepatnya pendapat itu, melainkan sekadar memberi contoh bahwa disini hakim telah berusaha untuk mencapai keadilan dengan menggunakan penafsian tata bahasa menurut bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang besangkutan walaupun diakui oleh hakim yang besangkutan sebagai pertimbangan yang berlebihan.
c.  Penafsiran historis (historiche interpretatie) yaitu :
1)      Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan, misalnya rancangan UU, memori tanggapan pemerintah, notulen rapa/sidang, pandangan-pandangan umum, dll
2)      Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk UU pada waktu membuat UU itu, misalnya denda f 25.-, sekarang ditafsirkan dengan uang Republik Indonesia sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP
  1. Penafsiran sistematis/dogmatis (systematische interpretatie), penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam UU itu maupun dengan UU yang lainnya misalnya ”ketentuan paling menguntungkan” dalam rumusan ayat 2 dari Pasal 1 KUHP apabila dihubungkan dengan rumusan ayat 1 pasal 1 KUHP yang merumuskan ”suatu perbuatan dapat dipidana keculai bedasarkan kekuatan ketentuan peundang-undangan pidana yang telah ada, pengetiannya adalah suatu ketentuan tentang tidak dapat dipidanya perbuatan. Artinya semula perbuatan tetentu dipidana, kemudian menurut ketentuan yang baru menjadi tidak dapat dipidana. Misalnya sebulan yang lalu A melakukan perbuatan pidana yang dapat dihukum, kemudian hari ini muncul UU yang mengatur perbuatan poidana tesebut tidak dapat dihukum. Dengan demikian yang dibelakukan adalah UU pidana bau yang menguntungkan.
Contoh lain, misalnya pengertian perbuatan ”menggugurkan kandungan”, dalam Pasal 347 KUHP, yang artinya kandungan (vucht) atau yang janin dari perut ibu bahwa vrucht yang dipaksa keluarkan itu harus dilakukan pada janin yang hidup, bukan janin yang sudah mati. Mengapa demikian ? karena jika melihat pasal 347 itu dengan menghubungkannya pada judul Bab XIX tentang kejahatan terhadap Nyawa (secaa sistematis), dimana pasal 347 itu adalah bagian dari Bab IX itu, semua objek kejahatan dalam Bab XIX adalah nyawa. Artinya, janin tadi haruslah benyawa dan tidak berlaku bagi janin yang sudah tidak bernyawa atau telah mati. Janin yang hidup dalam peut ibu yang mengandungnya dipandang sebagai satu kehidupan yang bediri sendiri yang lain dari nyawa atau kehidupan ibu yang mengandungnya.
  1. Penafsiran Logis (Logische Interpretatie) adalah suatu macam penafsiran dengan cara menyelidiki untuk mencari maksud sebenarnya dari dibentuknya suatu rumusan norma dalam UU dengan menghubungkannya (mencari hubungannya) denagan rumusan norma yang lain atau dengan undang-undang yang lain yang masih ada sangkut-pautnya dengan rumusan norma tersebut (lihat pasal 55 KUHP).
  2. Penafsiran Teleologis (Teleologische Interpretatie)) yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan UU itu. Ini penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi UU tetap sama saja. Contoh pada saat masih ebrlakunya UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (dicabut dengan UU No. 26 tahun 1999), di dalam menafsirkan rumusan yang ada dalam UU itu mengenai suatu kasus tertentu, selalu didasarkan pada maksud dari pembentuk UU itu, yaitu untuk memberantas setiap perbuatan atau upaya-upaya yang menggangu dan menggoyang kelangsungan dan atau kestabilan kekuasaan pemerintahan negara ketika itu.
  3. Penafsiran Analogis, memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya  tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut (ada rasio persamannya kejadian konkretnya terhadap noma-noma tesebut), misalnya pasal 388 ayat (1) yang melarang oang melakukan pebuatan curang pada waktu menyeahkan keperluan angkatan laut atau angkatan darat yang dapat membahayakan keselamatan negaa dalam keadaan perang. Jadi tidak ada diatur keperluan angkatan udara. Tetapi dengan menggunakan penafsirang analogis, maka jika terjadinya menyerahkan pada angkatan udara maka pasal ini juga dapat dikenakan karena pada dasar fungsi, peranan dan tugas angkatan laut dan darat juga sama dengan tugas angkatan udara yaitu dalam usaha perlindungan keselamatan dan keamanan negara.
Walaupun banyak kalangan ahli hukum melarang menggunakan analogis karena bertentangan dengan asas legalitas  namun dalam praktek hukum terjadi juga analogi misalnya (Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921) yang menganalogikan “menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik sehingga dapat dijeat pasal 362 KUHP.
  1. Penafsiran Esktensip, memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkannya seperti “aliran listrik” termasuk juga “benda”. Jadi, penafisran ekstensif didasarkan makna norma itu menurut keadaan yang sekarang yang atinya ada perubahan makna dari sesuatu pengertian unsur-unsur rumusan atau umusan suatu norma (hampir sama dengan analogi).
  2. Penafsiran a Contrario (menurut peringkaran) ialah suatu cara menafsirkan UU yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal UU. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada diluar pasal tersebut.
Penafsiran ini diterangkan oleh Satochid Kartanegara bahwa ”keadaan ini kita jumpai apabila terdapat beberapa hal yang diatur dengan tegas oleh UU, tetapi disamping itu tedapat pula hal-hal, yang sandaran maupun sifatnya sama, tidak diatur denagan tegas oleh UU, sedang hal-hal ini tidak diliputi oleh UU yang mengatur hal-hal tegas ini (lihat Pasal 285 KUHP).
Contoh Pasal 34 KUHPerdata menentukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum liwat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan. Timbullah kini pertanyaan, bagaimanakah halnya dengan seorang laki-laki ? Apakah seorang laki-laki juga harus dan khusus ditujukan kepada orang perempuan.
Maksudnya “waktu menunggu” dalam pasal 34 KUHPerdata ialah untuk mencegah adanya keragu-raguan mengenal kedudukan sang anak, berhubung dengan kemungkinan bahwa seorang perempuan sedang mengandung setelah perkawinannya diputuskan. Jika dilahirkan anak setelah perkawinan yang berikutnya, maka menurut UU anak itu adalah anaknya suaminya yang terdahulu (jika anak itu lahir sebelum liwat 300 hari setelah putusnya perkawinan teahulu). Ditetapkan waktu 300 hari ialah karena waktu itu dianggap sebagai waktu kandungan yang paling lama.
Diatas telah dikemukakan beberapa metode penafsiran (interpretasi), yang mana yang harus dipilih ?
Peraturan umum mengenai pertanyaan metode interpretasi yang mana, dalam peristiwa konkrit yang mana, yang harus digunakan oleh hakim tidak ada. Pembentuk UU tidak memberi prioritas kepada salah satu metode dalam menemukan hukum. Hakim hanya akhirnya akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan petimbangan metode manakah yang paling meyakinkan dan yang hasilnya paling memuaskan. Pemilihan mengenai metode interpretasi merupakan otonomi hakim dalam penemuan hukum. Motivasi pemilihan metode interpretasi itu tidak pernah kita jumpai dalam yurisprudensi : mengapa hakim memilih metode interpretasi yang ini dan bukan yang itu tidak pernah disebut dalam yurisprudensi. Di dalam putusan-putusannnya hakim tidak pernah menegaskan argumen atau alasan apakah yang menentukan untuk memilih metode tertentu. Metode interpretasi itu sering digunakan bersama-sama atau campur aduk. Dapatlah dikatakan bahwa dalam tiap interpretasi atau penjelasan UU terdapat unsur2 gramatikal, historis, sistematis dan teleologis.
BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

  • Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban.
  • Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini, dibatasi oleh hal yang sangat penting,   yaitu :
  1. Batas waktu (diatur dlm buku pertama, Bab I pasal 1 KUHP)
  2. Batas tempat dan orang (diatur dlm buku Pertama Bab I Pasal 2 – 9 KUHP)
A. BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU
  • Prinsip/asas legalitas telah diperjuangkan sejak abad XVIII di Eropa Barat sebagai reaksi atas berlakunya hukum pidana zaman monarki absolut dengan menjalankan hukum pidana secara sewenang-wenang, sekehendak dan menurut kebutuhan Raja sendiri.
  • Ahli hukum yang memperjuangkan dan memperkenalkan asas legalitas ini yang terkenal adalah Montesquieu (1689-1755) dengan teori Trias Politicanya yang disempurnakan oleh Von Feurbach (1755-1833).
  • Trias Politica :
  1. Kekuasaan legislatif atau membuat perundang-undangan yang dipegang leh parlemen.
  2. Kekuasaan eksekutif yang menjalankan pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah dan
  3. Kekuasaan yudikatif atau kehakiman, yakni badan yang menjalankan hukum yang telah dibuat oleh parlemen. Badan kehakiman ini tidak bertugas menentukan tentang perbuatan apa yang dilarang dan diancam pidana, melainkan hanya semata-mata bertugas untuk memeriksa dan memutus apakah suatu perbuatan tertentu telah bertentangan dengan ketentuan undang-undang.
  • Dengan adanya ajaran Trias Politica itu, untuk memidana seseorang atas perbuatan yang dilakukannya, disyaratkan agar terlebih dulu harus ada ketentuan hukum yang menyatakan perbuatan itu sebagai dilarang dan dapat dipidana (dibuat dulu aturan oleh legislatif).
  • Anselm Von Feuerbach (Belanda) melakukan upaya yang lebih konkret dalam memperkenalkan asas legalitas yang terkenal dengan ucapannya dalam bahasa latin (dalam bukunya yang berjudul “Lehrbuch des peinlichen Recht”, 1801) yaitu “Nullum delictum nulla poena sina praevia lege” yang artinya tidak ada pidana tanpa adanya ketentuan hukum yang lebih dulu menentukan demikian. Ucapannya ini secara jelas mengandung pengertian sebagaimana yang dimaksud dengan asas legalitas
  • Selanjutnya menurut Anselm Von Feuerbach beliau mengajarkan bahwa untuk menjamin dan mempertahankan ketertiban masyarkat, pidana harus berfungsi menakut-nakuti orang-orang agar tidak berbuat jahat, dan agar orang takut berbuat jahat, terlebih dulu ia harus mengetahui tentang ancaman pidana terhadap perbuatan jahat tersebut.
  • Agar orang mengetahui perihal ancaman pidana itu, hal-hal yang dilarang beserta ancaman pidananya itu harus ditetapkan terlebih dulu dalam UU.
  • Asas legalitas yang juga dikenal dengan asas “asas nulla poena” pertamakali dimuat dalam pasal 8 “Declaration des droits de L’hommeet du Citoyen” (1789), semacam Undang-Undang Dasar yang pertama dibentuk pada masa revolusi Prancis, yang bunyinya “tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah (Moeljatno, 1983 : 24). Kemudian asas ini dimuat dalam Pasal 4 Code Penal Prancis tahun 1810.
  • Ketika Belanda lepas dari pemerintahan Prancis tahun 1813, Code Penal ini tetap diberlakukan di Belanda sampai digantinya WvS Nederland 1881.
  • Code Penal 1810 ini berlaku 75 tahun di Belanda walaupun sifatnya sementara
  • Dalam WvS Nederland (disusun tahun 1881 dan mulai berlaku tahun 1886) yang baru ini asas legalitas dari Code Penal Prancis itu masuk didalamnya (Pasal 1 ayat 1).
  • Berdasarkan asas konkordansi WvS Nederland diberlakukan di Hindia Belanda pada 1 Januari 1918 menjadi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (yakni kini KUHP), dimana juga asas legalitas ini tetap tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP Indonesia.
  • Pasal 1 ayat 1 KUHP merumuskan “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada terlebih dulu “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan vooragegane wettelike strafbepaling).
  • Asas ini dalam bahasa latinnya adalah Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”.
  • Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut, ada tiga pengertian dasar dalam asas legalitas itu yaitu : 1) Ketentuan hukum pidana itu harus ditetapkan lebih dahulu secara tertulis. 2) Dalam hal untuk menentukan suatu perbuatan apakah berupa tindak pidana ataukah bukan tidak boleh menggunakan penafsiran analogi. 3) Ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut (terugwerkend atau retroaktif).
  • Dari tiga pengertian dasar diatas, tampak betul bahwa asas legalitas ini berlatarbelakang pada kepastian hukum yang berkaitan dengan perlindungan yang lebih konkret terhadap hak-hak warga yang berhadapan dengan kekuasaan pemerintahan negara
  • Dengan asas legalitas terhindar dan dapat mencegah sewenang-wenangan penguasa dalam bidang peradilan pidana. Asas legalitas adalah ajaran kepastian hukum
  • Dapat disimpulkan hukum pidana harus tertulis, tidak boleh ada penafsiran analogi dan tidak boleh berlaku surut.

1) Hukum pidana harus tertulis :
  • Peraturan perundangan haruslah tertulis karena tertulis berarti harus ditetapkan terlebih dulu, baru kemudian diberlakukan.
  • Ketentuan pidana harus tertulis bukan saja dalam bentuk undang-undang, tetapi juga tertulis dalam bentuk peraturan-peraturan lainnya yang tingkatannya dibawah undang-undang.
  • Jadi, sumber hukum pidana itu bukan saja UU dalam arti formil tetapi juga dalam arti materiil termasuk peraturan pemerintah,peraturan daerah (kabupaten atau kota), peraturan menteri, keputusan presiden dan lain sebagainya yang mengandung aspek hukum pidana.
Kelemahan :
  • Hukum pidana yang harus dibuat tertulis mempunyai kelemahan yaitu hukum pidana kaku, tidak dapat dengan cepat mengikuti perkembangan masyarakat dan lagi pula banyak perbuatan-perbuatan dalam masyarakat yang patut dipidana seperti dalam hukum adat (pidana) yang masih hidup namun tidak dapat dijalankan karena tidak ada bandingannya dalam peraturan tertulis ini.
  • Untuk peran hukum adat sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 ayat 3b UU No. 1 (drt) 1951 sangatlah penting.
2) Larangan Menggunakan Penafsiran Analogi Dalam Hukum Pidfana
  • Salah satu pekerjaan hakim adalah melakukan penafisran hukum, terutama terhadap norma tindak pidana dalam hukum tertulis ketika norma tersebut diterapkan dalam suatu peristiwa konkret tertentu.
  • Norma-orma hukum pidana mengenai rumusan tindak pidana ketika diterapkan pada kejadian atau peristiwa-peristiwa konkret tertentu tidak jarang memerlukan penafsiran
  • Hal ini dapat terjadi pada peristiwa tertentu yang tidak sama persis dengan apa yang dirumuskan dalam UU, mengenai salah satu atau beberapa unsur tindak pidananya.
  • Ada beberapa macam penafsiran yang telah dikenal dalam doktrin hukum pidana yaitu penafisran autentik, penafsiran gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafisran historis, penafisran ekstensif, penafsiran a kontrario, penafsiran terbatas dan penafisran analogis.
  • Dari sekian penafsiran diatas penafsiran analogi oleh berbagai kalangan ahli hukum tidak boleh digunakan dalam hukum pidana, mengingat pasal 1 (1) KUHP walaupun ada sebagian pakar hukum membolehkan seperti Tavarne, Pompe, Jonkers, di Indonesia Wirjono Prodjodikoro.
  • Alasan mengapa analogi dilarang dalam hukum pidana berpokok pangkal untuk menjamin kepastian hukum. Dirasakan sebagai penyerangan dan pelanggaran atas kepastian berlakunya hukum apabila analogi itu dipergunakan, sebagaimana dasar dibentuknya rumusan Pasal 1 (1) KUHP ialah pada latar belakang kepastian hukum dalam rangka melindungi rakyat dari upaya kesewenang-wenangan penguasa melalui para hakim.
  • Akan tetapi, terlepas dari adanya kelemahan dari larangan menggunakan analogi, perluasan berlakunya hukum yang demikian ini mempunyai mamfaat dalam upaya mencapai keadilan, dimana menurut masyarakat sesuatu perbuatan yang tidak secara tepat dapat dipidana melalui aturan pidana tertentu, namun dengan menggunakan analogi bagi pelaku perbuatan itu menjadi dapat dipidana.
  • Diakui bahwa analogi mengurangi kepastian hukum dan dapat disalahgunakan oleh penguasa melalui para hakimnya atau oleh hakim yang tidak bijaksana, namun begitu analogi amat berguna dan dapat dipakai dalam hal untuk mengisi kekosongan dalam peraturan perundang-undangan.
  • Analogi adalah penafsiran terhadap suatu ketentuan hukum (pidana) dengan cara memperluas berlakunya aturan hukum tersebut dengan mengabstraksikan rasio ketentuan itu sedemikian rupa luasnya pada kejadian konkret tertentu sehingga kejadian yang sesungguhnya tidak masuk ke dalam ketentuan itu menjadi masuk ke dalam isi atau pengertian ketentuan hukum tersebut.
  • Dengan kata lain,  analogi itu terjadi apabila suatu peraturan hukum menyebut dengan tegas suatu kejadian yang diatur, tetapi peraturan itu dipergunakan juga bagi kejadian/peristiwa lain yang tidak termasuk dalam peraturan itu, ada banyak persamaannya dengan kejadian yang disebut tadi.
  • Contoh kasus : misalnya dari ketentuan pasal 365 (2) sub 1 yang antara lain melarang melakukan pencurian dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan, berlaku juga pada pencurian dalam sebuah bis yang sedang berjalan. Dalam hal ini bis dianalogikan dengan kereta api atau trem sehingga orang yang mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan dapat pula diterapkan ketentuan hukum pidana menurut Pasal 365 (2) sub 1 ini (Wirjono Prodjodikoro).
  • Mengapa bis dianalogikan dengan trem, rasio larangan mencuri didalam trem yang sedang berjalan yang berlatar belakang pada larangan mencuri dalam kenderaan angkutan yang sedang berjalan pada dasarnya sama dengan rasio melarang mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan karena kereta api, trem dan bis adalah sama, angkutan umum yang berjalan.
  • Mengapa tidak disebut bis dalam Pasal 365 ayat 2 sub 1 karena ketika KUHP (WvS Belanda 1881) dibentuk, belum ada bis yang dipergunakan sebagai angkutan umum seperti keadaan sat ini. Jadi apa salahnya dengan analogi melarang pula mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan.
  • Pengertian seperti ini sesuai dengan pengertian dari perbuatan mengambil sebagai unsur tingkah laku pada pencurian yaitu berupa benda-benda yang dapat diambil, artinya yang dapat dipidahkan kekuasaannya dalam arti yang sebenarnya. Mengambil dalam arti berbuat sesuatu dengan memindahkan kekuasaan atas sesuatu benda ke dalam kekuasaannya/ ke tangannya menurut akal pikiran orang pada umumnya hanyalah dapat dilakukan pada benda-benda berwjud dan bergerak saja. Aliran/energi dari sudut pandang demikian bukanlah benda. Akan tetapi, untuk menjangkau keadilan, Hoge Raad telah menggunakan analogi dengan memberi arti baru tentang benda, yakni berupa sesuatu bagian dari kekayaan manusia. Dengan dasar pengertian semacam itu, energi listrik dapat pula merupakan benda yang menjadi objek pencurian. Energi listrik adalah bagian kekayaan, karena mempunyai nilai ekonomis. Pemakaian energi itu harus membayar kepada perusahaan si pemilik energi. Dengan alasan seperti itu, maka dapat dimengerti bahwa kemudian pada sebagian ahli hukum memberi arti baru bahwa benda merupakan sesuatu yang bernilai ekonomis dan mempunyai nilai bagi manusia (Satochid Kartanegara, 172).
  • Contoh lain : dalam sejarah praktik hukum, dengan menerapkan analogi yang terkenal dan banyak dimuat dalam berbagai literatur hukum, dalam arrest HR tanggal 23 Mei 1921 yang meganalogikan aliran/tenaga listrik itu dengan pengertian benda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUHP (pencurian). Pengertian benda dalam kejahatan ini menurut keterangan dalam MvT mengenai pembentukan Pasal 310 WvS Belanda (362 KUHP kita) terbatas pada benda-benda bergerak (roerent goed) dan benda-benda berwujud (Stoffelijk goed).
3) Hukum pidana tidak berlaku surut
  • Pernyataan hukum pidana tidak berlaku surut, tepai berlaku ke depan dapat disimpulkan dari kalimat yang menyatakan “…..ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” (Pasal 1 ayat 1 KUHP)
  • Yang artinya adalah ketika perbuatan itu dilakukan telah berlaku aturan hukum pidana yg melarang melakukan perbuatan tsb. Disini perlu ada kepastian hukum (rechtszekerheid).
  • Pernyataan hukum pidana tidak berlaku surut, tetapi berlaku ke depan dapat disimpulkan dari kalimay yg menyatakan “…..ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” (Pasal 1 ayat 1 KUHP). Yang artinya adalah ketika perbuatan itu dilakukan telah berlaku aturan hukum pidana yang melarang melakukan perbuatan tsb. Disini perlu ada kepastian hukum (rechtszekerheid).
  • Selanjutnya pada Pasal 1 ayat 2 KUHP berbunyi “bilamana ada perubahan dalam peraturan perUUan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yg paling menguntungkan”. (Disini mengandung keadilan)
  • Pasal 1 ayat 2 KUHP ini (asas retroaktif) adalah pengecualian pasal 1 ayat 1 KUHP (asas legalitas). Disini terjadi hukum boleh diberlakukan surut (hukum diberlakukan kebelakang)
  • Ada 3 syarat diberlakukannya hukum berlaku ke belakang/surut menurut pasal 1 ayat 2 KUHP yaitu :
1)   Harus ada perubahan perUUan mengenai suatu perbuatan,
2)   Perubahan tersebut terjadi setelah perbuatan dilakukan, dan
3)   Dimana peraturan yangg baru itu lebih menguntungkan atau meringankan bagi pelaku perbuatan itu.
B. BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT DAN ORANG
  • Batas diberlakunya hukum pidana menurut tempat diatur dalam pasal 2,3,4,8,9 KUHP sedangkan batas berlakunya hukum pidana menurut orang atau subjeknya diatur dalam pasal 5,6,7 KUHP.
  • Mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang dikenal ada 4 asas yaitu :
  1. Asas teritorialiteit (territorialiteits-beginsel) atau asas wilayah negara
  2. Asas personaliteit (personaliteits beginsel) disebut juga dengan asas kebangsaan, asas nationalitet aktif atau asas subjektif (subjektions prinzip)
  3. Asas perlindungan (bescbermings beginsel) atau disebut juga asas nasional pasif
  4. Asas universaliteit (universaliteits beginsel) atau asas persamaan
Asas teritorialiteit :
  • Adalah asas yang memberlakukan KUHP bagi semua orang yang melakukan pidana di dalam lingkungan wilayah Indonesia. Asas ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 dan 3 KUHP. Tetapi KUHP tidak berlaku bagi mereka yang memiliki hak kebebasan diplomatik berdasarkan asas ”ekstrateritorial”.
  • Asas teritorial ini diatur dalam pasal 2 yang berbunyi “aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Inbdonesia”
  • Disini siapapun yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia dapat dipidana sesuai hukum pidana yang berlaku di Indonesia baik didarat, laut maupun udara.
  • Wilayah laut 12 mil pulau terluar, kalau kurang dari 12 mil, maka di pakai garis tengah selat (selat malaka) = UU No 4/Prp/1960 Pasal 1 ayat 2.
  • Sedangkan tindak pidana di air dan udara diatur dalam pasal 3 dan UU no. 4 tahun 194, dimana disebutkan “ketentuan pidana perudang-undangan Indonesia berlaku bagi setaip orang yang diluar Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kenderaan air atau pesawat udara Indonesia
Asas Personaliteit :
  • Adalah asas yang memberlakukan KUHP terhadap orang-orang Indonesia yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Republik Indonesia. Asas ini bertitik tolak pada orang yang melakukan perbuatan pidana. Asas ini dinamakan juga asas personalitet.
  • Asas ini terdapat dalam Pasal 5, 6, 7 dan 8 KUHP
  • Pasal 5 ayat 1 berbunyi “Ketentuan pidana dalam Peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap warga negara yang diluar Indonwesia melakukan :
  1. Salah satu kejahatan tersebut dlm Bab I dan II Buku Kedua dan Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451 KUHP
  2. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan pidana Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana
  • Pasal 5 ayat 2 berbunyi “Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
  • Bab I berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara (104-129) dan Bab II adalah mengenai kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden (130-139).
  • Pasal 5 ayat 1 ke-1 KUHP hanya berlaku berkaitan dengan tindak pidana yg terjadi kepada setiap warga negara RI yg melakukan diluar Indonesia sebagaimana diancam dalam pasal-pasal tsb.
  • Sedangkan pasal 5 ayat 1 ke-2 hanya berlaku berkaitan dengan tindak pidana setiap warga negara RI yg melakukan diluar Indonesia namun tindak pidana tsb harus berupa kejahatan bukan pelanggaran dan perbuatan tindak pidana tsb oleh negara dimana perbauatan tsb dilakukan juga merupakan perbuatan pidana yg dapat diancam.
  • Sedangkan ayat 2 Pasal 5 berkaitan dengan apabila ada orang asing melakukan tindak pidana diluar negeri setelah itu ia masuk warga negara Indonesia. Maka dapat juga dituntut menurut ayat 2 ini.
  • Selanjutnya dalam pasal 6 berbunyi  “berlakunya pasal 5 ayat 1 ke 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jiak menurut perundang-undangan negara dimana perbauatan dilakukan, terhadapnya tidak diancam dengan pidana mati”.
  • Selanjutnya dalam pasal 7 berbunyi “ketentuan pidana dalam perUUan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat Indonesia yg diluar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam bab XXVIII buku kedua.
  • Pasal 7 ini menerangkan khusus warga negara sebagai pejabat Indonesia (PNS) yang melakukan perbuatan yg diancam salah satu bab XXVIII. Artinya pasal ini tidak berlaku warga negara yg bukan pejabat.
  • Selanjutnya dalam pasal 8 KUHP berbunyi “ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakhoda dan penumpang kenderaan air Indonesia, yang diluar Indonesia, sekalipun diluar kenderaan air, melakukan salah satu tindak pidana sbgmana dimaksudkan dlm bab XXIX buku kedua, dan bab IX buku ketiga, begitu pula yg tersebut dlm peraturan mengenai surat laut dan pas kapal Indonesia maupunn dalam ordonannsi perkapalan (schepnordonantie, 1927).
  • Bab XXIX buku kedua membahas tentang kejahatan-kejahatan pelayaran (Pasal 438-479) sedangkan bab IX buku ketiga ttg pelanggaran mengenai pelayaran (pasal 560-569)
Asas Perlindungan atau Asas nasional Pasif
  • Adalah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap siapapun juga baik WNI maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia. Jadi yang diutamakan adalah keselamatan kepentingan suatu negara.
  • Asas ini bertumpu pada kepentingan bangsa dan negara bukan kepentingan pribadi/individu diatur dalam pasal 4 KUHP
  • Pasal 4 berbunyi “ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia diterapkan terhadap setiap orang yang melakukan di luar Indonesia yaitu salah satu kejahatan berdasarkan pasal 104, 106, 107, 108, 110 bis ke 1, 127 dan 131.
  • Juga kejahatan mata uang kertas, materai, merek yang dikeluarkan pemerintah Indonesia, dll
Asas Universaliteit :
  • Asas ini berlaku untuk kepentingan penduduk dunia atau bangsa dunia. Jadi bukan sekedar kepentingan bangsa Indonesia
  • Diatur dalam pasal 4 ayat 2,3,4 KUHP, misalnya pasal 4 ayat 4 berkaiatan dengaan pembajakan di laut bebas (446) dan pembajakan udara (479) dan penerbangan sipil, pemalsuan uang negara lain yang bukan uang negara Indonesia
  • Asas universaliteit adalah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk merugikan kepentingan internasional. Peristiwa pidana yang terjadi dapat berada di daerah yang tidak termasuk kedaulatan negara manapun. Jadi yang diutamakan oleh asas tersebut adalah keselamatan internasional.
BAB III
JENIS-JENIS PIDANA


  • Menurut Pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun pidana pokok sebagai berikut :
  1. Pidana mati
  2. Pidana penjara
  3. Pidana kurungan
  4. Pidana denda
  • Sedangkan pidana tambahan adalah
  1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu
  2. Pidana perampasan barang-barang tertentu
  3. Pidana pengumuman putusan hakim
  • Selanjutnya ada juga pidana pokok menurut UU No. 20 tahun 1946 yaitu berupa pidana tutupan.
  • Antara pidana pokok dan tambahan mempunyai perbedaan yaitu :
  1. Penjatuhan salah satu pidana pokok bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif
Penjelasan :
Apabila dalam persidangan tindak pidana yg didakwakan oleh jaksa penuntut umum menurut hakim telah terbukti secara sah dan meyakinkan hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana  pokok sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yg diancamkan pada tindak pidana yg bersangkutan.
Menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang dianggap terbukti adalah suatu keharusan artinya imperatif.
2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus bersamaan dengan menjatuhkan pidana tambahan (berdiri sendiri), sedangkan menjatuhkan pidana tambahan tidak diperbolehkan tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok.
Penjelasan :
Sesuai dengan namanya pidana tambahan, penjatuhan pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri, lepas dari pidana pokok melainkan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim apabila dalam suatu putusannya itu telah menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yg diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Artinya jenis pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana pokok, melainkan bersama dengan jenis pidana pokok.
Dalam hal ini telah jelas bahwa pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan kecuali setelah adanya penjatuhan pidana pokok, artinya pidana pokok dapat berdiri sendiri sedangkan pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri.
Walaupun jenis pidana tambahan mempunyai sifat yg demikian, ada juga pengecualiannya, yakni dimana jenis pidana tambahan itu dapat dijatuhkan tidak bersama jenis pidana pokok tetapi bersama tindakan (maatregelen) seperti  pasal 39 ayat 3 dan 40.
3. Jenis pidana pokok yag dijatuhkan bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie)
Penjelasannya :
Pengecualiaannya adalah apabila pidana yg dijatuhkan itu adalah jenis pidana pokok dengan bersyarat (Pasal 14a) dan syarat yang ditetapkan dalam putusan itu tidak dilanggar. Hal ini berbeda dengan sebagian jenis pidana tambahan misalnya pidana pencabutan hak-hak2 tertentu sudah berlaku sejak putusan hakim telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 38 ayat 2). Ole karena itu, berjalannya/dijalankannya putusan antara  jenis pidana pokok dengan pidana pencabutan hak tertentu berdasarkan pasal 38 ayat 2 tidak sama.
  • Selain itu juga ada prinsip dasar pidana pokok yaitu tidak dapat dijatuhkan secara kumulasi (menjatuhkan 2 pidana pokok secara bersamaan).
  • Hal ini dapat dilihat sbgmana tercantum dalam buku II (kejahatan) dan buku III (pelanggaran) dimana dijelaskan bahwa :
  1. Dalam rumusan tindak pidana hanya diancam dengan satu jenis pidana pokok saja.
  2. Dalam beberapa rumusan tindak pidana yg diancam dgn lebih dari satu jenis pidana pokok ditetapkan sbg bersifat alternatif (misal pasal 340, 362 dll) dengan menggunakan kata atau.
  • Prinsip dasar jenis pidana pokok ini hanya berlaku pada tindak pidana umum (KUHP). Bagi tindak pidana khusus (diluar KUHP), prinsip dasar ini ada penyimpangan seperti UU No 7 (drt) 1955 (UU tindak pidana ekonomi), UU No. 31 tahun 1999 (UU tindak pidana korupsi), UU Narkotika (UU No. 22 tahun 1997), UU Perbankan (UU No. 10 tahun 1998), dll
  1. Pidana mati (Pasal 11 KUHP)
  • Di Belanda sejak tahun 1870 pidana mati tidak diberlakukan lagi.
  • Di Indonesia sejak tahun 1918 masi diberlakukan pidana mati.
  • RUU KUHP 1992 dan 1999/2000 revisi masih dicantumkan tapi bukan dalam pidana pokok, hanya dikategorikan pidana yang bersifat khusus dan selalu bersifat altertnatif.
  • Di Belanda sejak tahun 1870 pidana mati tidak diberlakukan lagi.
  • Di Indonesia sejak tahun 1918 sampai sekarang masih diberlakukan pidana mati.
  • Penjatuhan pidana mati dalam KUHP hanya diatur dalam bentuk kejahatan berat saja, misalnya :
  1. Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara (Pasal 104, 111 ayat 2, 124 ayat 3 jo 129)
  2. Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor  pemberat, misalnya 140 ayat 3, 340 KUHP
  3. Kejahatan terhadap harta benda yg disertai unsur/faktor yg sangat memberatkan (365 ayat 4, 368 ayat 2)
  4. Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai (Pasal 444)
  • Adanya pidana mati oleh pembentuk KUHP dalam penerapan harus hati-hati, tidak boleh gegabah karena pidana mati berkaitan dengan hilangnya nyawa manusia.
  • Untuk itu dalam KUHP pasal pidana mati selalu dibuat alternatif dengan penjara seumur hidup, pidana 20 tahun, misalnya pasal 365 (4), 340, 104, 368 (2) jo 365 (4), dll sedangkan diluar KUHP pidana mati diatur dalam UU 26 tahun 1999 (subversi), UU 22 tahun 1997 (Narkotika, 80, 81, 82), Pasal 59 UU No 5 tahun 1997 (Psikotropika).
  • Eksekusi pidana mati dulu dengan cara digantung (Pasal 11 KUP) telah dihapuskan diganti dengan cara ditembak oleh regu penembak sampai mati (UU No. 2 (PNPS) tahun 1964.
  1. Pidana penjara (Pasal 12 – 17 KUHP)
  • Berdasarkan pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak yakni pidana penjara dan kurungan.
  • Dari sifatnya menghilangkan dan atau membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat (Lembaga Permasyarakatan) dimana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan didalamnya wajib untuk tunduk, mentaati dan menjalankan semaua peraturan tata tertib yang berlaku.
  • Selintas antara pidana penjara dan kurungan sama namun ada perbedaan yang cukup jauh
  • Perbedaan yang paling menonjol adalah pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringannya sebagai berikut :
  1. Ancaman pidana kurungan hanya terhadap tindak pidana yg ringan sedangkan ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yg lebih berat. Pidana kurungan hanya terhadap tindak pidana pelanggaran sedangkan pidana penjara terhadap tindak pidana kejahatan.
  2. Ancamam maksimum pidana penjara 15 tahun sedangkan pidana kurungan 1 tahun kecuali residivis ditambah tidak lebih dari 4 bulan lagi. Pidana penjara bisa ditambah menjadi 20 tahun apabila perbuatan tersebut memberatkan (pembarengan pasal 65) dan residivis.
  3. Pidana penjara lebih berat daripada pidana kurungan (Pasal 69 KUHP).
  4. Pelaksanaan pidana denda tidak dapat diganti dengan pelaksanaan pidana penjara. Akan tetapi pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pelaksanaan kurungan disebut kurungan pengganti (Pasal 30 ayat 2).
  5. Pelaksanaan pidana penjara dapat saja dilakukan di Lembaga permasyarakatan di seluruh Indonesia (dapat dipindahkan), sedangkan pidana kurungan dilaksanakan hanya di LAPAS dimana vonis hakim dibacakan/berdasarkan tempat kediaman terdakwa (tidak dapat dipindah), atau apabila ia tidak mempunyai tempat kediaman, pidana kurungan dilaksanakan dimana tempat ia ada pada waktu itu, kecuali ia memohon untuk menjalani pidana ditempat lain dan menteri kehakiman mengijinkannya. (Pasal 21 KUHP)
  6. Pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan pada narapidapidana penjara lebih berat dari pekerjaan2 yang diwajibkan pada narapidana kurungan (Pasal 19 KUHP)
  7. Narapidana kurungan dengan biaya sendiri dapat sekedar meringankan nasibnya dalam menjalankan pidananya menurut aturan yang ditetapkan (hak pistole, pasal 23 KUHP)
Pidana penjara ada bersifat seumur hidup dan pidana penjara sementara.
Pidana seumur hidup adalah pidana yang harus dijalani terpidana selama-lamanya didalam penjara sampai dengan ia meninggal dunia di penjara tersebut.
Sedangkan pidana sementara adalah pidana yang dijalani terpidana paling sedikit 1 hari dan paling lama 15 tahun atau 20 tahun jika perbuatan pidana yang dilakukan dengan pemberatan.
  1. Pidana kurungan (18 – 29 KUHP)
  • Pidana kurungan ada suatu pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa karena telah melakukan tindak pidana pelanggaran
  • Pidana kurungan dijatuhkan serendah-rendahnya 1 hari dan paling lama  1 tahun dan dapat ditambah lagi 4 bulan apabila terdakwa seorang residivis.
  • Menurut Pasal 23 KUHP “Orang yg dipidana kurungan boleh memperbaiki nasibnya dengan ongkosnya sendiri menurut peraturan yg akan ditetapkan dalam ordonansinya (LN 1917 No. 708 = peraturan kepenjaraan, khususnya psl 93)
  • Perbaikan nasib dengan ongkos sendiri ini biasa dinamakan hak pistole. Perbaikan tsb misalnya mengenai makanan dan tempat tidurnya. Candu, minuman keras, anggur dan bir hanya dapat diberikan bila dianggap perlu oleh dokter penjara.
D.  Pidana denda
  • Penerapan pidana denda paling sedikit 25 sen (Pasal 30 ayat 1 KUHP) sedangkan maksimum tergantung pada rumusan pidana, misalnya pasal 403 maksimum Rp. 150.000
  • Apabila tidak dibayar dendanya diganti dengan hukuman kurungan (ayat 2)
  • Lamanya hukuman kurungan pengganti paling sedikit 1 hari paling lama 6 bulan. Dalam keadaan memberatkan dapat ditambah paling tinggi 8 bulan (Pasal 30 ayat 5, 6 KUHP)
  • Pidana denda diterapkan pada pelanggaran sedangkan pada kejahatan dijadikan alternatif (misalnya kata-kata ’atau’)
Keistimewaan pidana denda :
  1. Pidana denda dapat dibayarkan oleh orang lain, sedangkan pidana lainnya (misalnya penjara) tidak.
  2. Pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan (Pasal 30 ayat 2 KUHP), maka sering dalam putusan hakim membuat pidana alternatif selain kurungan juga ada pidana kurungan pengganti. Dalam hal ini terpidana bebas memilihnya dan lamanya pidana kurungan pengganti adalah minimal 1 hari maksimal 6 bulan.
  3. Penerapan pidana denda paling sedikit 25 sen (Pasal 30 ayat 1 KUHP) sedangkan maksimum tergantung pada rumusan pidana, misalnya pasal 403 maksimum Rp. 150.00,-
Mengapa terhadap pidana denda   perlu adanya jaminan  penggantinya ?
  • Karena dalam pelaksanaan pidana denda tidak dapat dijalankan denagan paksaan secara langsung seperti penyitaan atas barang-barang terpidana. Ini berbeda dengan perkara perdata yg dilakukan pelelangan setelah disita pengadilan.
Kapan denda harus dibayar ?
  • Yaitu jika divonis pidana denda, maka paling alama 1 bulan terpida harus mebayar denda tsb kecuali acara cepat harus seketika dilunasi (misalnya perkara lalu-lintas). Sementara dapat diperpanjang lagi 1 bualn apabila ada alasan kuat (Pasal 273 ayat 1 dan 2 KUHP).
  • Pidana denda dibayarkan menjadi kas negara. Untuk itu setelah kejaksaan menerima harus segera di setor ke kas negara.
  • E. Pidana Tutupan
  • Diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 20 tahun 1946 yang menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan.
  • Selanjutnya pada ayat 1 dinyatakan pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu cara melakukan perbuatan itu aatau akibat dari perbuatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.
  • Tempat untuk menjalani pidana tutupan adalah rumah tutupan (PP No. 8 tahun 1948).
  • Rumah tutupan lebih baik dengan rumah tahanan dari segi fasilitasnya, misalnya maalah makanan.
  • Pidana tutupan sama juga dengan pidana penjara hanya beda dari fasilitasnya.
  • Jadi orang yang menjalani pidana tutupan adalah perbuatan pidana yang terdorong oleh maksud yang patut dihormati, kriterianya diserahkan kepada hakim.
  • Dalam praktek pidana tutupan hanya terjadi 1 kali saja yaitu putusan Mahkamah Agung Tentara RI tanggal 17 Mei 1948 yaitu perkaa kejahatan peristiwa 3 Juli 1946.
F. Pidana Pencabutan Hak-Hak Tertentu
  • Pasal 35 ayat 1 KUHP mengatur tentang pidana pencabutan hak-hak tertentu :
  1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu (jabatan publik, seperti Bupati, dll).
  2. Hak menjalankan jabatan dalam Angkatan bersenjata / TNI
  3. Hak memilih dan dipilih yg diadakan berdasarkan aturan2 umum
  4. Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri
  5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.
  6. Hak menjalankan mata pencaharian
  • Pasal tindak pidana yg mengaturnya adalah pasal 317, 318, 334, 347, 348, 350, 362, 363, 365, 372, 374, 375.
  • Sifat hak-hak tertentu yang dapat dicabut oleh hakim, tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali yang bersangkutan dijatuhi pidana seumur hidup atau pidana mati.
Lama waktu hakim menjatuhkan pencabutan hak-hak tertentu (Pasal 38 KUHP) :
  1. Bila pidana pokok yg dijatuhkan hakim berupa pidana mati atau seumur hidup maka lamanya pencabutan hak2 tertentu berlaku seumur hidup
  2. Bila pidana pokok yg dijatuhkan hakim berupa pidana penjara sementara atau kurungan, maka lamanya pencabutan hak2 tertentu paling lama 5 tahun dan minimun 2 tahun lebih lama daripada pidana pokoknya
  3. Jika pidana pokok yg dijatuhkan adalah pidana denda maka pencabutan hak2 tertentu adalah paling sedikit 2 tahun dan paling lama 5 tahun.
G. Perampasan Barang-Barang Tertentu
  • Perampasan barang sebagai suatu pidana hanya diperkenankan atas barang-barang tertentu saja, tidak diperkenankan untuk semua barang. UU tidak mengenal perampasan untuk semua kekayaan seperti dalam kasus perdata.
  • Pasal 39 KUHP berbunyi , “Barang kepunyaan terhukum yang diperoleh dengan kejahatan atau dengan sengaja dipakai akan melakukan kejahatan akan dirampas ”, misalnya uang palsu diperoleh dengan kejhatan, golok, senjata api, dll. Jika bukan milik terhukum tidak boleh dirampas.
  • Ada 2 jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim pidana yaitu :
1. Barang-barang yang berasal/diperoleh dari suatu kejahatan (bukan dari pelanggaran) yang disebut dengan Corpora Delictie misalnya uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang.
2.  Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan yang disebut dengan instrumenta delictie misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan
  • Ada tiga prinsip dasar dari pidana perampasan barang tertentu yaitu :
  1. Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan terhadap 2 jenis barang tersebut dalam Pasal 39 itu saja.
  2. Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh hakim pada kejahatan saja, dan tidak pada pelanggaran, kecuali pada beberapa tindak pidana pelanggaran, misalnya Pasal 502, 519, 549 (jenis pelanggaran)
  3. Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh hakim atas barang-barang milik terpidana tadi. Kecuali ada beberapa ketentuan
a)    Yang menyatakan secara tegas terhadap barang yang bukan milik terpidana (Pasal 250 bis),
b)    Tidak secara tegas menyebutkan terhadap, baik barang milik terpidanaatau bukan (misalnya pasal 275, 205, 519)
H. Pengumuman Putusan Hakim
  • Pidana pengumuman putusan hakim hanaya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh UU, misalnya terdapat dalam Pasal 128, 206, 361, 377, 395, 405.
  • Dalam pidana ini hakim bebas perihal cara melaksanakan pengumuman, misalnya melalui surat kabar, papan pengumuman, radio, televisi dan pembebanan biayanya ditanggung terpidana.
  • Pasal 43 KUHP, “Dalam hal-hal yang hakim memerintahkan mengumumkan keputusannya menurut kitab UU umum yg lain, ditentukjannya pula cara bagaimana menjalankan perintah itu atas ongkos siterhukum”, misalnya melalui surat kabar dengan ongkos terhukum.
  • Maksud pidana ini adalah sebagai usaha preventif agar tidak melakukan perbuatan seperti orang tersebut dan agar berhati-hati bergaul dengan orang tersebut (terhukum).
I.  Penjatuhan Pidana Bersyarat (voorwaardelijke veroordeling)
  • Istilah penjatuhan pidana besyarat bukanlah jenis pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP, karena istilah ini diatur dalam pasal 14a KUHP. Lebih tepat istilah ini adalah pidana dengan bersyarat.
  • Pidana dengan bersyarat dalam praktek hukum sering disebut dengan pidana percobaan.
  • Pidana percobaan/bersyarat adalah suatu sistem/model penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya digantungkan pada syarat-syarat tertentu.
  • Artinya pidana yang dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu dijalankan pada terpidana selama syarat-syarat yang ditentukan tidak dilanggarnya dan pidana dapat dijalankan apabila syarat-syarat yang ditetapkan itu tidak ditaatinya atau dilanggar. Misalnya jika terpidana tersebut yang diminta hakim tidak boleh melakukan perbuatan perbuatan pidana maka selama masa poercobaan tersebut terpidana tidak boleh melakukan perbuatan pidana dalam bentuk apapun. Jika terbukti melakukan perbuatan pidana lagi maka hukumannya bisa ditambah karena terdakwa seorang residivis.
  • Mamfaat penjatuhan pidana dengan bersyarat adalah memperbaiki penjahat tanpa harus memasukkannya ke dalam penjara artinya tanpa membuat derita bagi dirinya dan keluarganya, mengingat pergaulan dalam penjara terbukti sering membawa pengaruh buruk bagi seorang terpidana terutama bagi orang-orang yang melakukan tindak pidana karena dorongan faktor tertentu yang ia tidak mempunyai kemampuan untuk menguasai dirinya dalam arti bukanpenjahat sesungguhnya. Misalnya karena kemelaratan dan untuk makan ia mencuri sebungkus roti, karena butuh uang untuk mengobati orang tuanya yang luka karena kecelakaan, kejahatan culpa (kelalaian), dll
Dalam pasal 14a KUHP ditentukan bahwa hakim dapat menetapkan pidana dengan bersyarat dalam putusan pemidanaan apabila :
  • Hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun
  • Hakim menjatuhkan pidana kurungan (bukan kurungan pengganti denda maupun kurungan pengganti perampasan barang)
  • Hakim menjatuhkan pidana denda, dengan ketentuan yaitu : a). Apabila benar-benar ternyata pembayaran denda atau perampasan barang yang ditetapkan dalam keputusan itu menimbulkan keberatan yang sangat bagi terpidana, dan b). Apabila pelaku tindak pidana yang dijatuhi denda bersyarat itu bukan berupa pelanggaran yang berhubungan dengan pendapatan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar