Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan
Belanda
Akar
sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai
pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan
masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau
Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para
pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk
masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas
muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama
di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera
Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh
dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian
menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan
Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di
pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi
dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan
tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan
hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai
hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya
yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta
ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para
ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung
hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
Hukum Islam pada Masa Penjajahan
Belanda
Cikal
bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran
Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal
dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki
peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan
Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia
Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili
Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja
dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam
kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan
karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka.
Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang
selama ini telah mereka jalankan.
Pengakuan
terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan
kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas
Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan
Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin
nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya
di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama
antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang
mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah
Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya
dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi
keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan
(1945)
Perdebatan
panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang
disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta
terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin
kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan
pula negara Islam.
Dengan
rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan
adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para
pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal
ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada
banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah
kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia
Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir
angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol
Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat
itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang
menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan
mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari
Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang
BPUPKI.
Pada
akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary
mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam
sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik
pengepungan kepada cita-cita umat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar