SEJARAH
PERKEMBANGAN PENGERTIAN KEJAHATAN
Menurut
asalnya tidak ada pembatasan secara resmi dan juga tidak ada campur tangan
penguasa terhadap kejahatan, melainkan kejahatan semata-mata dipandang sebagai
persoalan pribadi atau keluarga. Individu yang merasa dirinya menjadi korban
perbuatan orang lain, akan mencari balas
terhadap pelakunya atau keluarganya. Konsep peradilan ini dapat ditemui
pada perundang-undangan lama, seperti Code Hammurabi (1900 SM),
perundang-undangan Romawi kuno (450 SM) dan pada masyarakat Yunani kuno seperti ‘curi sapi bayar sapi”.
Konsep “pembalasan” ini juga terdapat pada kitab perjanjian lama: eye for eye.
Kemudian
konsep kejahatan ini berkembang untuk perbuatan-perbuatan yang ditujukan kepada
raja seperti pengkhianatan,sedangkan terhadap perbuatan-perbuatan yang
ditujukan kepada individu masih menjadi urusan pribadi. Seiring berjalannya
waktu maka kemudian kejahatan menjadi urusan raja (sekarang Negara) yaitu
dengan mulai berkembangnya apa yang disebut sebagai parents patriae.
Konsekuensi selanjutnya dengan diopernya tugas ini oleh Negara maka main hakim
sendiri dilarang.
Pada
abad 18 muncullah para penulis yang kemudian disebut sebagai mazhab klasik,
sebagai reaksi atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan serta
kesewenangan-wenangan penguasa pada waktu ancient regime. Mazhab klasik ini
mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar undang-undang. Ajarannya
yang terpenting adalah doktrin nullum crime sine lege yang berarti tidak ada
kejahatan apabila undang-undang tidak menyatakan perbuatan tersebut sebagai
perbuatan yang dilarang. Takut terhadap timbulnya ketidakpastian dan timbulnya
kesewenang-wenangan dari penguasa (hakim), maka mazhab ini berpendapat, hakim
hanyalah sebagai mulut/corong undang-undang saja. Lama kelamaan timbul
ketidakpuasan terhadap ajaran mazhab ini dan pada akhir abad ke-19 muncullah
pandangan baru yang lebih menitikberatkan pada pelakunya dalam studi terhadap
kejahatan. Mazhab ini muncul diantara para penstudi kejahatan di Itali yang
kemudian disebut sebagai mazhab positif. Mazhab ini dipelopori oleh C.Lambroso
seorang dokter ahli ilmu kedokteran kehakiman. Aliran ini berusaha untuk
mengatasi relativitas dari hukuman pidana dengan mengajukan konsep kejahatan
yang non hukum,, serta mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar
hukum alam (natural law).
Dalam
perkembangan selanjutnya, konsep kejahatan yang non hukum tersebut banyak
menguasai para sarjana krimonologi di Amerika terutama sampai pertengahan abad
20. Beberapa kritik yang diajukan terhadap mazhab tersebut antara lain oleh Ray
Jeffery yang menyatakan bahwa dalam mempelajari kejahatan harus dipelajari
dalam kerangka hukum pidana sebab dari hukum pidana kita dapat mengetahui
dengan pasti dalam kondisi yang bagaimanakah suatu tingkah laku dipandang
sebagai kejahatan dan bagaimana peraturan perundang-undangan berinteraksi
dengan sistem norma yang lain.
George
C. Vold mengatakan dalam mempelajari kejahatan terhadap persoalan rangkap,
artinya kejahatan selalu menunjuk pada perbuatan manusia dan juga
batasan-batasan atau pandangan masyarakat tentang apa yang dibolehkan dan apa
yang dilarang, apa yang baik dan buruk, yang semuanya itu terdapat dalam
undang-undang, kebiasaan dan adat istiadat.
E.Durkheim seorang pakar
sosiologi menyatakan kejahatan bukan normal, dalam arti tidak ada masyarakat
tanpa kejahatan bahkan dia menambahkan kejahatan merupakan sesuatu yang
diperlukan, sebab ciri setiap masyarakat adalah dinamis, dan perbuatan yang
telah menggerakkan masyarakat tersebut pada mulanya seringkali disebut sebagai
kejahatan, misalnya dengan dijatuhkannya hukuman mati terhadap Socrates dan
Galileo-Galilea atas buah pikirannya. Perlu ditegaskan kejahatan bukanlah
fenomena alamiah, melainkan fenomena sosial dan historis, sebab tindakan
menjadi kejahatan haruslah dikenali, diberi cap dan ditanggapi sebagai
kejahatan, disana harus ada masyarakat yang normanya, aturannya dan hukumannya
dilanggar, disamping ada lembaga yang tugasnya menegakkan norma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar