Memberikan keterangan Sumpah Palsu di bawah sumpah atau yang biasa disebut delik Sumpah Palsu/Keterangan Palsu, diatur dalam Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), khususnya ayat 1 dan 2, yang berbunyi:
Ayat 1
“Barangsiapa dalam keadaan di
mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah
atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan
sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan
ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus
ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.”
Ayat 2
“Jika keterangan palsu di
atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau
tersangka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.”
Sebagai informasi untuk Anda, Sumpah Palsu/Keterangan Palsu adalah Delik Formil (formeel delict), artinya perumusan unsur-unsur pasalnya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Delik
Sumpah Palsu tersebut dianggap telah selesai/terpenuhi dengan
dilakukannya perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam rumusan delik
tersebut.
Menjawab pertanyaan Anda, sesuai dengan Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(“KUHAP”), apabila keterangan seorang saksi di bawah sumpah dalam suatu
persidangan, diduga/disangka sebagai suatu keterangan yang palsu (tidak
benar), maka Hakim Ketua secara ex officio (karena jabatannya)
memperingatkan saksi tersebut untuk memberikan keterangan yang benar dan
juga mengingatkan akan adanya sanksi pidana apabila saksi tersebut
tetap memberikan keterangan palsu.
Selanjutnya, apabila saksi tersebut tetap mempertahankan keterangan palsunya, maka Hakim Ketua secara ex officio (karena jabatannya), atau atas
permintaan jaksa penuntut umum atau terdakwa (maupun Penasihat Hukumnya)
dapat memberi perintah agar saksi tersebut ditahan, kemudian panitera
pengadilan akan membuat berita acara pemeriksaan sidang yang
ditandatangani oleh Hakim Ketua dan panitera, dan selanjutnya
menyerahkannya kepada penuntut umum untuk dituntut dengan dakwaan sumpah
palsu.
Sesuai dengan
hasil diskusi penjawab dengan Asep Iwan Iriawan (mantan Hakim), maka
dalam praktiknya, hakim mempunyai hak untuk menilai keterangan saksi
sebagai salah satu alat bukti. Secara teknis, saat seorang hakim
memiliki keyakinan bahwa saksi tersebut berbohong, maka hakim ketua akan
men-skorsing sidang untuk bermusyawarah dengan para hakim
anggota. Jika musyawarah tersebut mencapai kesepakatan, maka majelis
hakim akan mengeluarkan penetapan.
Dengan kata lain,
tidak diperlukan adanya suatu laporan pidana terlebih dahulu sebelum
majelis hakim mengeluarkan penetapan untuk menahan saksi yang diduga
bersumpah palsu tersebut. Tentunya dengan ketentuan bahwa sebelumnya
hakim harus memperingatkan saksi tersebut untuk memberikan keterangan
yang benar dan mengingatkan adanya saksi pidana, dalam hal saksi
tersebut tetap memberikan keterangan yang palsu (tidak benar).
Dengan demikian,
ketegasan seorang hakim sangat diperlukan dalam menegakkan tujuan hukum
acara pidana, yaitu mencari kebenaran materiil, yaitu khususnya dalam
hal ini untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya dari keterangan
seorang saksi yang diduga memberikan keterangan palsu di bawah sumpah
tersebut.
Sebaliknya, jika saksi
yang diduga memberikan keterangan palsu tersebut merasa bahwa
keterangan yang diberikannya adalah benar atau tidak palsu, namun tetap
diproses sebagai tersangka atau terdakwa, maka berpadanan pada asas Presumption of Innocence (praduga
tak bersalah), soal bersalah atau tidak bersalahnya seorang saksi yang
diduga memberikan keterangan palsu di bawah sumpah tersebut adalah
bergantung sepenuhnya dari bagaimana proses pembuktian atas perkara
tersebut di pengadilan.
Sebagai bahan referensi untuk mendukung opini tersebut, penjawab juga akan mengutip pendapat R. Soesilo dalam bukunya: “KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, hal. 183, disebutkan:
“Supaya
dapat dihukum pembuat (saksi yang diduga memberikan keterangan palsu)
harus mengetahui, bahwa ia memberikan suatu keterangan dengan sadar
bertentangan dengan kenyataan dan bahwa ia memberikan keterangan palsu
ini di atas sumpah. Jika pembuat menyangka bahwa keterangannya itu
sesuai dengan kebenaran, akan tetapi akhirnya keterangan ini tidak
benar, dengan lain perkataan, jika ternyata bahwa ia sebenarnya
tidak mengenal sesungguhnya mana yang benar, maka ia tidak dapat
dihukum. Mendiamkan (menyembunyikan) kebenaran itu belum berarti suatu
keterangan palsu. Suatu keterangan palsu itu menyatakan keadaan lain dari pada keadaan yang sebenarnya dengan dikehendaki (dengan sengaja).
Demikian jawaban saya. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda.
Dasar hukum:
Referensi:
Soesilo, R. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar